Produsen Ban Cina Siap Hijrah ke Indonesia
KATADATA - Ini satu di antara berkah pajak ekspor rendah di Indonesia. Produsen ban di Cina berencana memindahkan operasionalnya ke beberapa negara, salah satunya Indonesia. Hal tersebut dipicu oleh kebijakan Negara Panda itu yang menerapkan pajak ekspor tinggi, 30 hingga 50 persen. Angka ini jauh lebih besar dari pajak ekspor Indonesia yang hanya lima persen.
Produsen ban itu, yakni Shandong O'Green Tyre Co. Ltd yang menggandeng PT Vorich Wealth Indo untuk membuat perusahaan patungan bernama PT Eastern O'Green. Perusahaan ini akan memindahkan seluruh fasilitas produksinya ke Indonesia. Rencana relokasi pabrik juga dipicu oleh pembatasan kuota ekspor ban. (Baca: Pemerintah Genjot Investasi Industri Berorientasi Ekspor).
“Selain dikenakan pajak dan kuota, kami ingin pindahkan fasilitas produksi karena dekat dengan lokasi bahan baku karet di sini,” kata General Manager PT Eastern O'Green Fitri Zenitia usai acara Investor Forum Cina dan Hong Kong di gedung Badan Koordinasi Penanaman Modal, Jakarta, Senin, 29 Februari 2016.
Fitri menyatakan saat ini perusahaannya telah menyelesaikan pabrik ban berkapasitas 2.000 pekerja dengan nilai US$ 501 juta dan akan mulai beroperasi pada pertengahan 2016. Pihaknya sedang mengajukan keringanan pajak atau tax allowance. Eastern O'Green juga berharap mendapatkan satu fasilitas lagi yakni percepatan impor barang modal yang diberikan bersama-sama dengan Direktorat Jenderal Bea Cukai. (Baca juga: Proses Impor Mesin dan Peralatan Pabrik Akan Dipermudah).
Dari sisi produksi, Fitri mentargetkan Eastern O'Green akan menghasilkan 20 hingga 30 ribu unit ban per hari dengan 75 persen produksi untuk ekspor ke beberapa negara di Eropa, Australia. Juga, untuk memenuhi kebutuhan pasar Cina sendiri. Adapun produk yang dihasilkan adalah ban untuk truk dan bus berukuran sedang. “Untuk luas lahan pabrik kami di Cikampek seluas 23,6 hektare,” katanya.
Fitri pun menilai, selain aturan pajak dan kuota, pertumbuhan ekonomi Cina 2015 yang jatuh menjadi 6,9 dari 7,3 persen pada 2014 dapat menjadi peluang bagi Indonesia. Situasi ini bisa dimanfaatkan untuk menggenjot sejumlah sektor sehingga membantu gerak ekonomi dalam negeri.
Ekonom Samuel Aset Managemen Lana Soelistianingsih mengatakan peluang tersebut muncul dari menurunnya optimisme pemerintah Cina, walau seiring dengan hal itu mesti diwaspadai. Tahun ini, otoritas negara tersebut memangkas perkiraan laju ekonominya, hanya tumbuh 6,5 persen, lebih rendah dari perkiraan awal tujuh persen. (Baca: Cina Melemah, Industri Manufaktur Indonesia Berpeluang Meningkat).
Dampaknya, kegiatan manufaktur menurun dari 51 menjadi 48 persen. Sementara sektor jasa tumbuh dari 48 ke 51 persen. Kesempatan ini, kata Lana, bisa dimanfaatkan oleh Indonesia dengan merebut pabrik atau industri yang mau merelokasi investasinya. Misalnya, BKPM harus aktif mengajak investor asing masuk.
“Manufaktur di sana mulai turun karena upah pekerjanya naik. Ini bisa ditangkap oleh Indonesia kalau mereka mau relokasi pabriknya. Tentu dengan kebijakan perbaikan iklim investasi,” kata Lana kepada Katadata pekan lalu.