Presiden Tentukan Krisis atas Rekomendasi KSSK
KATADATA - Beleid penangkal krisis akan disahkan pada 18 Maret mendatang. Setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) dicabut pertengahan tahun lalu, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sepakat membawa rancangan peraturan ini ke sidang paripurna.
Rapat kerja antara Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dan Komisi Keuangan DPR menyepakati 20 pasal yang disesuaikan dan dihapus. Selanjutnya, menurut Ketua Komisi Keuangan Ahmadi Noor Supit, draf RUU JPSK ini dibawa ke sidang paripurna untuk disahkan menjadi Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK). (Baca: Bail Out Bank Tanpa Dana APBN, Pemerintah Ganti Nama RUU JPSK).
Dari hasil kesepakatan itu, Presiden hanya bisa menentukan kondisi krisis dan langkah penanganannya berdasarkan rekomendasi KSSK. Karenanya, Pasal 35 dalam draf diubah. Selain itu, penetapan bank berdampak sistemik atau systemically important bank (SIB) tetap dilakukan pada kondisi normal. Bank yang tergolong SIB ditetapkan setelah beleid ini disahkan atau selambat-lambatnya sekitar pertengahan Juli.
Dalam Peraturan Bank Indonesia Nomer 16 tahun 2014 tentang Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial disebutkan bahwa systemically important bank adalah bank yang dapat mengakibatkan gagalnya sebagian atau keseluruhan bank lain atau sektor jasa keuangan, baik secara operasional maupun finansial, apabila bank tersebut mengalami gangguan atau gagal. Bank tersebut dilihat dari ukuran aset, modal, kewajiban, dan luas jaringan, atau kompleksitas transaksi atas jasa perbankan, serta keterkaitan dengan sektor keuangan lain.
Sementara itu, masih dalam Pasal 1 disebutkan bahwa risiko sistemik adalah potensi instabilitas sebagai akibat terjadinya gangguan yang menular atau contagion. Penularan bisa terjadi pada sebagian atau seluruh sistem keuangan karena interaksi dari faktor ukuran, kompleksitas usaha, dan keterkaitan antar institusi dan/atau pasar keuangan, serta kecenderungan perilaku yang berlebihan dari pelaku atau institusi keuangan untuk mengikuti siklus perekonomian. (Lihat: Tax Amnesty Gagal, Banyak Pengusaha Berpotensi Dipidana).
Dari hasil akhir pembahasan RUU Pencegahan Krisis, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menyatakan puas dengan kesepakatan tersebut. Menurut dia, isi rancangan beleid ini sudah mempertimbangkan kondisi ekonomi global terkini. Ada pula perbedaan dari versi RUU JPSK 2008. “Tapi di 2016 Indonesia masuk G20, praktis kata bail-out tidak pernah diucapkan, semuanya bicara bail-in. Jadi lebih kepada mencegah daripada mengobati,” kata Bambang di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Jumat, 11 Maret 2016.
Dia juga tak bermasalah dengan hilangnya kewenangan presiden mengambil langkah lain di luar rekomendasi KSSK. Menurut dia, kebijakan yang diambil pasti untuk mencegah terjadinya krisis. Apalagi, kesepakatan ini sudah optimal dengan memasukan pertimbangan politik dan teknis lainnya. “Butuh waktu delapan tahun untuk sampai sidang paripurna,” ujarnya
Dengan mengutip Bank Indonesia, tim riset Mandiri menganalisa bahwa aturan tersebut merupakan kerangka kerja yang melandasi pengaturan mengenai skema asuransi simpanan, mekanisme pemberian fasilitas pembiayaan darurat oleh bank sentral atau lender of last resort, serta kebijakan penyelesaian krisis. (Baca juga: UU JPSK Hampir Rampung, Pemilik Bank Bermasalah Bakal Diburu).
Karena itu, ketika masih memakai nama JPSK pada dasarnya lebih ditujukan untuk mencegah krisis. Di sisi lain, juga meliputi mekanisme penyelesaian krisis sehingga tidak menimbulkan biaya yang besar kepada perekonomian. Dengan demikian, stabilitas sistem keuangan terjaga sehingga sektor keuangan dapat berfungsi secara normal dan memiliki kontribusi positif terhadap pembangunan ekonomi.
Di sini, mekanisme bail-out tidak lagi digunakan. Penanganan perbankan dalam menghadapi krisis akan memakai bail-in. Dua langkah ini berbeda terutama pada sumber dananya. Jika bail-out merupakan suntikan likuiditas langsung dari Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara, dana bail-in berasal dari Lembaga Penjamin Simpanan dalam bentuk pinjaman yang harus dikembalikan melalui premi. “Bail-in akan lebih difokuskan kepada pencegahan krisis sehingga suntikan likuiditas diberikan sebelum sebuah entitas dinyatakan gagal bayar,” ujar mereka. (Lihat pula: DPR Pertanyakan Batas Pinjaman ke LPS dalam RUU JPSK).
Namun, terbatasnya dana LPS menjadi halangan. Pemerintah memperkirakan dana kelolaan LPS sebesar Rp 60 triliun tidak akan cukup untuk meredam dampak yang timbul apabila terjadi krisis finansial. Oleh karenanya, LPS dimungkinkan mengajukan pinjaman ke pemerintah, kemudian pemerintah menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN). Hasil penerbitan SBN tersebut akan dipinjamkan ke LPS yang harus dikembalikan kepada pemerintah. LPS juga dapat mengajukan pinjaman ke BI dengan jaminan pemerintah.
Karena itu, di sini peran LPS menjadi lebih krusial. “LPS harus dapat melakukan restrukturisasi perbankan yang bermasalah dengan baik, oleh karenanya dukungan penuh OJK dan BI mutlak diperlukan.”