Harga Komoditas Anjlok, Ekonomi Sulawesi Bisa Tumbuh 8 Persen
KATADATA - Perekonomian Indonesia pada tahun lalu tumbuh 4,79 persen, lebih rendah dari perkiraan pemerintah sebelumnya. Bahkan, pencapaian itu yang terendah dalam lima tahun terakhir. Salah satu penyebabnya adalah berakhirnya masa ledakan komoditas sehingga kinerja ekspor terpuruk. Namun, di tengah keterpurukan pendapatan provinsi-provinsi produsen komoditas, Sulawesi masih mampu tumbuh di atas pertumbuhan ekonomi nasional.
Secara umum, dua pulau utama penghasil komoditas: Sumatera dan Kalimatan mengalami kelesuan ekonomi. Provinsi Kalimantan Timur misalnya, mencatat pertumbuhan ekonomi minus 0,85 persen sepanjang 2015. Begitu juga dengan Nanggroe Aceh Darussalam yang tumbuh minus 0,72 persen. Sedangkan Provinsi Riau yang merupakan produsen minyak dan gas bumi (migas) serta kelapa sawit mentah (CPO), cuma tumbuh 0,22 persen.
Kinerja ekonomi dari Pulau Sumatera dan Kalimantan ini telah menyeret turun pertumbuhan ekonomi Indonesia, karena berkontribusi sebesar 31 persen terhadap total perekonomian nasional. Dua pulau itu memang penyumbang produk domestik bruto (PDB) tertinggi kedua setelah Jawa.
(Baca: Indonesia Pimpin Pertumbuhan Ekonomi Asia)
Yang menarik, tidak semua pulau merasakan perlambatan ekonomi tahun lalu. Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua berhasil tumbuh di atas laju perekonomian nasional. Jawa, sebagai kontributor terbesar perekonomian mencatatkan pertumbuhan ekonomi 5,85 persen. Sementara itu, Bali dan Nusa Tenggara tumbuh 10,29 persen.
Yang menarik, pertumbuhan ekonomi Sulawesi mencapai 8,18 persen. Padahal, sejumlah provinsi di pulau ini mengandalkan pendapatan dari komoditas bahan mentah. “Di antara pulau-pulau itu, yang dialami Sulawesi menarik,” kata analis Bank Mandiri, Romauli Panggabean, dalam riset bulanan April 2016 yang dilansir Bank Mandiri, Kamis (31/3).
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat masing-masing tumbuh 7,15 persen dan 7,37 persen. Sementara itu, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara mencapai pertumbuhan 15,1 persen dan 6,88 persen. Adapun Gorontalo tumbuh 6,23 persen dan Sulawesi Utara tumbuh 6,12 persen. Pencapaian ini menjadi prestasi yang luar biasa, mengingat provinsi-provinsi lain terpuruk saat harga komoditas jatuh.
Romauli menyebut beberapa faktor penopang pertumbuhan ekonomi provinsi-provinsi di Sulawesi. Pertama, mayoritas provinsi di pulau itu mengandalkan sektor pertanian, yang menyumbang 30-40 persen terhadap PDB. Beberapa contohnya adalah kakao, kelapa dan padi. Kelapa banyak diproduksi di Sulawesi Utara, sedangkan kakao dihasilkan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Sulawesi Selatan juga dikenal sebagai lumbung padi untuk memenuhi kebutuhan beras di kawasan timur Indonesia.
(Baca: ADB Prediksi Ekonomi Asia 2016 Makin Lesu)
Kedua, sektor pertambangan tumbuh melampaui pertumbuhan nasional. Sektor pertambangan di setiap provinsi tumbuh di atas sektor-sektor lain dengan kontribusi tinggi secara nasional. Pada 2015, sektor pertambangan nasional tumbuh negatif 5,08 persen karena merosotnya produksi dan harga batubara. Namun, sektor pertambangan dan penggalian di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat malah tumbuh 7,85 persen dan 8,04 persen. Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah mencatatkan pertumbuhan 11,29 persen dan 26,71 persen untuk pertambangan. Pertumbuhan pesat terutama dialami oleh Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, karena masuknya investasi untuk pembangunan smelter nikel.
Ketiga, tingginya pertumbuhan konstruksi di provinsi-provinsi tersebut mendorong kontribusi yang signifikan. Berkaitan dengan investasi untuk smelter nikel, pembangunan konstruksi pun berjalan pesat di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, yang masing-masing tumbuh 20,95 persen dan 12,59 persen. Sektor konstruksi di Sulawesi juga menyumbang pertumbuhan ekonomi di pulau tersebut antara 7,82 hingga 14,29 persen.
(Infografik: Pertumbuhan Ekonomi Kuartal IV Lampaui Perkiraan 23 Lembaga)
Romauli melihat, pertumbuhan ekonomi tinggi di Sulawesi merupakan hasil campur tangan investasi pemerintah dan swasta. Investasi untuk smelter berasal dari swasta, dengan dukungan payung hukum dan infrastruktur dari pemerintah. Kombinasi ini menunjukkan bahwa tingginya pertumbuhan regional dapat dicapai melalui kolaborasi pemerintah dan swasta, bukan bergantung hanya dari salah satunya.