Kejatuhan Harga Minyak Perlebar Defisit Anggaran 2016
Pemerintah memperkirakan defisit anggaran bisa melebar dari target 2,15 persen menjadi 2,5 persen dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN) 2016. Salah satu penyebabnya yaitu kejatuhan harga minyak mentah dunia hingga di bawah US$ 40 per barrel sehingga penerimaan negara berkurang.
Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengatakan ada beberapa asumsi makro ekonomi yang diubah dalam Sidang Kabinet Paripurna hari ini. Misalnya, inflasi diperkirakan tinggal 4 persen, menurun dari asumsi sebelumnya 4,7 persen. Kurs rupiah diproyeksikan menguat dari 13.900 per dolar Amerika Serikat menjadi 13.400 per dolar. (Baca: Kejatuhan Harga Minyak Kurangi Penerimaan Negara Rp 90 Triliun).
Sementara itu, asumsi harga minyak Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) melorot dari perkiraan US$ 50 per barel menjadi US$ 35 per barel. Meskipun penurunan harga minyak berdampak positif terhadap inflasi dengan menurunnya harga energi seperti Bahan Bakar Minyak (BBM) dan tarif dasar listrik, tetapi penerimaan negara juga akan merosot.
Sementara itu, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menambahkan bahwa Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sumber Daya Alam diperkirakan turun Rp 70 triliun. Jika penerimaan sektor ini dalam target awal Rp 124,9 triliun, realisasinya kemungkinan menjadi Rp 54,9 triliun. Begitu juga dengan Pajak Penghasilan sektor minyak dan gas (PPh migas) diperkirakan turun Rp 17 triliun, dari Rp 42,1 triliun menjadi Rp 25,1 triliun. (Baca juga: Menteri Keuangan Tolak Perbesar Defisit Anggaran).
Karena penurunan ini, Bambang menyatakan belanja pemerintah diperkirakan dipotong Rp 50,6 triliun. Berdasar perhitungan inilah defisit anggaran diramal melebar dari 2,15 persen menjadi 2,5 persen. Untuk menutupinya, sebagian defisit ini akan diambil dari Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) sebesar Rp 20 triliun. “Ada bagian yang kami ambil dari uang kami sendiri (SILPA),” kata Bambang di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta, Kamis, 7 April 2016.
Menurutnya, per kuartal pertama 2016, penerimaan perpajakan baru mencapai Rp 216,1 triliun atau 14 persen dari target Rp 1.546,7 triliun. Jumlah itu terdiri dari penerimaan pajak sebesar Rp 199,4 triliun serta bea dan cukai Rp 16,7 triliun. Realisasi ini lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu Rp 235,8 triliun, atau berkurang Rp 19,7 triliun. Hal ini lantaran kontribusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menurun dan karena konsumsi rumah tangga belum terlalu kuat pada awal tahun. (Lihat pula: Penerimaan Seret, IMF Menilai Pemerintah Perlu Revisi APBN).
Dari sisi penerimaan bea dan cukai terjadi terkontraksi 48,6 persen. Per Maret, pendapatan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai baru mencapai Rp 16,7 triliun, lebih rendah dibanding periode sama tahun lalu Rp 32,5 triliun. Jumla tersebut terdiri dari cukai Rp 7,9 triliun dan bea keluar Rp 600 miliar. Keduanya menurun dibanding Maret 2015 yakni masing-masing Rp 24,1 triliun dan Rp 900 miliar. Sedangkan bea masuk tercatat naik 10 persen dari Rp 7,5 triliun menjadi Rp 8,3 triliun.
Rencana Perubahan Asumsi Makro
Indikator | APBN 2016 | Rencana APBN P 2016 |
Inflasi | 4,7 persen | 4 persen |
Kurs rupiah | Rp 13.900 per dolar AS | Rp 13.400 per dolar AS |
Harga minyak (ICP) | US$ 50 per barel | US$ 35 per barel |
Lifting minyak | 830 ribu barel/hari | 830 ribu barel/hari |
Pertumbuhan Ekonomi | 5,3 persen | 5,3 persen |