Penyimpangan Cost Recovery, SKK Migas Bisa Potong Lifting Kontraktor
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencermati hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai penyimpangan penggantian biaya operasi atau cost recovery. Bahkan, SKK Migas telah menyiapkan sanksi kepada para kontraktor migas jika memang terbukti melakukan penyimpangan tersebut.
Kepala Bagian Humas SKK Migas Elan Biantoro mengatakan, jika memang temuan itu terbukti merugikan negara maka SKK Migas akan melakukan mekanisme overlifting. “Artinya jatah (lifting migas) kontraktor bisa kami potong, supaya imbang. Jadi tidak ada yang rugi,” kata dia kepada Katadata, Rabu (13/4). (Baca: BPK Temukan Penyimpangan Cost Recovery ConocoPhillips dan Total)
Meski begitu, Elan mengaku, sampai saat ini SKK Migas belum bisa menindaklanjuti temuan BPK tersebut kepada para kontraktor migas. Alasannya, hasil pemeriksaan itu masih didiskusikan antara tim BPK dan tim SKK Migas yang bernama tim Pengawasan Pengendalian Bagian Negara (PPBN). Jadi, audit BPK itu bisa dibilang belum tuntas dan rampung.
Jika hasil audit BPK mengindikasikan adanya temuan penyimpangan, maka akan diklarifikasikan terlebih dulu kepada SKK Migas. Setelah itu, tim SKK Migas akan menyiapkan data tambahan dan membahas temuan tersebut. Dalam pembahasan itu, SKK Migas juga akan melibatkan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Kalau dalam diskusi terbukti adanya penyelewengan maka hasil itu akan disepakati bersama.
Elan belum bisa memastikan waktu proses tersebut rampung. Ia hanya menjamin bahwa negara tidak akan dirugikan karena temuan penyimpangan cost recovery itu bisa diganti melalui pendapatan kontraktor pada tahun ini atau tahun depan. “Kami sudah enam tahun lebih mendapat (opini dari BPK) wajar tanpa pengecualian,” ujar dia. (Baca: Anggaran Cost Recovery 2016 Turun Jadi Rp 158,5 Triliun)
Sementara itu, para kontraktor yang terseret dalam hasil audit BPK tersebut cenderung enggan berkomentar. ConocoPhillips sebagai kontraktor yang paling besar temuan dugaan penyimpangannya, mengaku perlu mempelajari hasil audit itu. “Saya harus lihat dulu hasil auditnya," kata Team Lead Media Relations ConocoPhilips Deddy Machdan kepada Katadata. Begitu pula dengan pihak Total E&P Indonesia. "Belum bisa beri komentar," kata Media Relations Department Head Total E&P Indonesia Kristanto Hartadi.
Kontraktor asal Inggris, Premier Oil, juga bungkam dengan hasil audit BPK. Government and Community Relations Premier Oil Ratih Indra menganggap yang berwenang mengomentari masalah itu adalah SKK Migas. "Silakan ke SKK Migas saja, kami tak ada kewenangan," katanya.
Sementara itu, Direktur Utama PT Pertamina Dwi Soetjipto mengaku, pihaknya masih dalam tahap klarifikasi internal terhadap temuan BPK tersebut. Ia pun melihat, temuan BPK itu merupakan sebuah kesempatan perbaikan Pertamina ke depan. " Kami akan pelajari, kalau itu sesuatu yang tidak benar di masa lalu kami perbaiki. Kami akan klarifikasi dulu benar-benar mengenai apa," ujar Dwi di Jakarta, Rabu (13/4). (Baca: KEN Rekomendasikan Pencabutan Aturan Cost Recovery dan PPh Hulu Migas)
Sekadar informasi, Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II 2015 yang diserahkan BPK kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Selasa (12/4) kemarin, menunjukkan ada biaya-biaya yang tidak semestinya dibebankan dalam cost recovery pada tujuh wilayah kerja KKKS. Total nilainya sekitar Rp 4 triliun.
Kepala BPK Harry Azhar Azis mengatakan, BPK sudah memeriksa perhitungan bagi hasil migas tahun 2014 pada SKK Migas di tujuh wilayah kerja. Tujuh wilayah kerja tersebut yakni South Natuna Sea “B” yang dioperatori ConocoPhillips Indonesia Inc. Ltd., Corridor oleh ConocoPhillips (Grissik) Ltd, dan Blok Rokan oleh PT Chevron Pacific Indonesia. Ada juga Eks Pertamina Block yang operatornya adalah PT Pertamina EP, South East Sumatra yang dioperatori CNOOC SES LTD, Mahakam oleh Total E &P Indonesie dan INPEX Corporation, serta Natuna Sea A oleh Premier Oil Natuna Sea B.V.