Menteri Darmin Nasution Bersiap Bereskan Sektor Migas
Pemerintah memberi perhatian serius terhadap masalah industri minyak dan gas, terutama di sisi hulu. Ketika menyampaikan pidato kunci pada Konferensi Asosiasi Industri Minyak dan Gas Bumi (IPA) ke-40, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengatakan peran sektor migas sangat besar terhadap ekonomi Indonesia. Di sisi lain, sektor ini memerlukan dana besar pula.
Sayangnya, kata dia, setidaknya dalam dua tahun terakhir investasi di industri migas betul-betul merosot. Salah satu faktor penyebabnya, selain karena kejatuhan harga minyak mentah dunia, juga desain kebijakan yang kurang menarik bagi investor. (Baca: Gelar Pameran Terbesar, Asosiasi Migas Soroti Harga Minyak Rendah).
Untuk itu, sejak akhir tahun lalu pemerintah gencar memangkas rantai perizinan yang membelit. Harapannya, investor bisa lebih mudah berusaha. Tapi, kata Darmin, agar kebijakan ini sukses tidak bisa hanya diserahkan kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Instansi lain harus berandil, seperti Kementerian Keuangan, Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Agraria, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan.
“Saya sepakat dan komit bersama Pak Sudirman (Menteri Energi) mulai masuk ke area ini. Karen saya tidak punya lagi alasan untuk menunda masuk ke sektor migas, terutama sektor hulu,” kata Darmin yang disambu tepuk tangan meriah para peserta konferensi di Jakarta, Rabu, 25 Mei 2016.
Bila ditelusuri ke belakang, kata Darmin, produksi migas Indonesia mulai turun secara konsisten sejak 2.000. Setelah krisis besar Asia 1998, minyak dan gas yang dikeluarkan dari perut Indonesia tidak pernah menyentuh target dalam setiap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pada situasi ini, dia menegaskan pemerintah bukannya tidak menyadari. Tapi mengingat ini merupakan area yang dianggap rumit dan sensitif, perlu kajian dan me-review industri tersebut.
Karena itu, Darmin menganggap saat ini merupakan momentum yang penting untuk meletakkan dasar-dasar industri migas, juga sektor lainnya. Ini penting dilakukan untuk menangani pelambatan ekonomi yang sudah berlangusng dua tahun terakhir .
Secara umum, dalam menghadapai kelesuan ekonomi, pemerintah menggenjot pembangunan infrastruktur. Sektor ini memang paling banyak dikeluhkan dunia usaha karena cukup tertinggal dari negara lain setelah krisis 1998. Keputusan berinvestasi di bidang ini tidak berdasarkan jangka pendek sehingga terbuka mengundang pemodal. Upaya itu, kata Darmin, berjalan walaupun hasilnya belum terealisasi semua seperti di pelabuhan, tol, dan pembangkit.
Kedua, pemerintah kemudian melakukan reformasi dalam administrasi pemerintahan, pelayanan, dan perizinan. Sampai saat ini sudah ada 12 paket deregulasi. Kemarin Presiden Joko Widodo mengumumkan 96 persen paket tersebut telah rampung. (Baca juga: Potensi Tambahan Cadangan Migas 5,2 Miliar Barel).
Dua hal ini, infrastruktur dan paket kebijakan, akan menjadi tulang punggung ekonomi dua tahun terakhir. Dari sini, sektor migas pun diharapkan akan terdongkrak. Dampaknya, akan membantu penerimaan negara, yang dulu sempat menjadi tumpuan utama pemasukan dana.
Menurut Darmin, jika ditengok ke belakang, sebetulnya telah terjadi perubahan paradigma setelah harga minyak tumbang pada 1980-an. Puluhan tahun lalu, 80 persen APBN tergantung dari pemasukan migas. Tapi hari ini, kata Darmin, certianya terbalik. Untuk itu perlu menemukan jalan keluar tanpa harus terbawa arus perlambatan ekonomi dunia.
Pemerintah akan melanjutkan proses reformasi. Setelah pembangunan infrastruktur dan perbaikan perizinan, pelayanan, dan birokrasi, pemerintah memilih jenis industri yang harus diprioritaskan untuk didorong. “Dan saya ingin menekankan sektor migas adalah sektor yang sangat besar peranannya dalam ekonomi kita,” kata Darmin.
Untuk itu, dia melanjutkan, perlu mengembangkan sumber daya manusia. Inilah salah satu yang melatarbelakangi kunjungan Presiden Jokowi ke Eropa beberapa waktu lalu, yakni membangun kerja sama untuk mengembangkan pelatihan dan pendidikan vokasional.
Setelah itu pemerintah mendorong partisipasi swasta untuk mengembangkan berbagai pelatihan yang terakreditasi. Harapannya, agar menghasilkan tamatan yang layak memperoleh sertivikasi. Hal itu memerlukan aktivitas semua sektor dan dukungan pemerintah.