Sejumlah Negara Berkembang Menikmati Kenaikan Mata Uang
Amerika Serikat mengumumkan data yang membuat penantian atas kenaikan suku bunga The Fed terusik. Pada 3 Juni kamarin, negeri Paman Sam menyampaikan angka pengangguran yang makin tinggi. Akibatnya, seperti dikutip The Economist, Jumat, 11 Juni 2016, imbal hasil (yield) surat utang di sana anjlok dan dolar pun melemah.
Hingga pekan lalu, banyak negara berkembang yang menantikan kepastian kenaikan suku bunga acuan dari The Fed. Mereka memprediksi peningkatan tersebut terjadi awal bulan ini. Kenaikan suku bunga bisa menarik lebih banyak uang masuk ke Amerika Serikat dari negara-negara berkembang. (Baca: The Fed Ragu-Ragu, Rupiah Menguat 2,4 Persen dalam Dua Hari).
Dalam situasi tersebut, bank-bank sentral yang jauh dari The Fed kerap terpaksa ikut menaikkan suku bunga, bahkan ketika situasi dalam negeri tidak menjanjikan. Pada 2014, Arvind Subramanian yang sekarang menjadi kepala penasihat perekonomian pemerintah India, sempat mengeluhkan imperialisme dolar.
Di sisi lain, bila kurs Amerika menurun, mata uang negara-negara berkembang malah menguat. Mata uang lira Turki dan real Brasil, misalnya, menguat 1,5 persen dibanding hari sebelumnya. Sementara itu, mata uang Rusia naik lebih dari dua persen. Di Afrika Selatan, mata uang rand bahkan menguat lebih dari tiga persen.
Namun, mata uang peso (Meksiko) dan rupee (India) tidak merasakan penguatan. Begitu pula dengan Cina, meski negara ini menikmati keuntungan dari lemahnya arus modal ke luar negeri. (Baca: DBS Peringatkan Kenaikan Fed Rate di Tengah Perbaikan Ekonomi).
Kondisi mata uang di sejumlah negara berkembang tersebut serupa dengan yield surat utang pemerintah. Pada 3 Juni kemarin, nilai imbal hasil di Brasil serta Turki turun 0,2 persen basis poin. Di Rusia, Afrika Selatan dan Thailand, penurunan terjadi hingga separuhnya dalam pembukaan pasar pada 6 Juni lalu. Cina, lagi-lagi tetap tak bergerak. Begitu pula dengan India.
Kepala bank sentral India, Raghuram Rajam dihujani kritik atas kebijakan moneter unilateral dari The Fed. India, yang menjadi pusat percobaan kecil kebijakan itu ternyata tidak mengalami dampak apa pun. (Baca: Otoritas Moneter Waspadai Kenaikan Fed Rate)
Namun ancaman masih tetap ada. Perekonomian dunia masih menghadapi kecemasan. Eropa belum pulih benar dengan keinginan Inggris keluar dari Uni Eropa. Perekonomian Cina juga masih rentan. Pasar keuangan mengalami guncangan, setelah Ketua the Fed, Janet Yellen tidak memberi kepastian mengenai waktu kenaikan suku bunga acuan. Indeks S&P 500 ditutup menguat hingga mendekati rekor tertingginya. Meski demikian, perekonomian dunia masih berpotensi mengguncang stabilitas pasar kembali.
Jika kondisi tersebut tidak terjadi pun, kesenjangan antara Amerika Serikat dan negara-negara lain bisa menunda kenaikan suku bunga. Hal ini disampaikan analis dari Bank Credit Analyst, Mark McClellan. Ia menjelaskan, the Fed tidak bisa menerapkan kebijakan pengetatan moneter tanpa memangkas nilai mata uangnya. Kebijakan ini bisa menyebabkan pasar keuangan kembali goyah, terutama di negara berkembang yang memiliki utang luar negeri dalam bentuk dolar.