Pemotongan Cost Recovery Akan Memukul Industri Hulu Migas
Keputusan rapat Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat dengan pemerintah yang menurunkan cost recovery atau pengembalian biaya operasional dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBNP) 2016, bakal memukul kegiatan hulu minyak dan gas bumi (migas). Selain menghambat peningkatan cadangan migas, ujung-ujungnya keputusan itu bisa mengurangi penerimaan negara di masa depan.
Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Amien Sunaryadi mengatakan, penetapan cost recovery yang terlalu rendah akan berdampak pada penurunan aktivitas hulu migas. Hal ini tentu akan mempengaruhi upaya peningkatan cadangan migas dan mempertahankan produksi siap jual (lifting) migas. “Pada akhirnya berisiko pada penerimaan negara dari migas,” kata dia kepada Katadata, Jumat, (17/6).
Sementara itu, Deputi Pengendalian Keuangan SKK Migas Parulian Sihotang tidak mau berspekulasi mengenai pengurangan anggaran cost recovery. Yang jelas, secara kontrak, pembayaran cost recovery tidak bisa ditunda. “Jadi nanti kita lihat dampaknya, karena kami harus menghitung lagi dengan kontraktor,” kata dia.
Presiden Direktur PT Energi Pasir Hitam atau Ephindo Sammy Hamzah mengatakan, kesediaan penundaan pembayaran cost recovery tergantung masing-masing. Namun, saat ini perusahaan migas sedang mengalami masa sulit. “Saya hanya ingin mengingatkan bahwa semua perusahaan di dunia tanpa pengecualian kecil besar sedang mengalami kerugian besar dengan jatuhnya harga minyak,” ujar dia. (Baca: Harga Minyak Rendah Laba Terjun Bebas)
Seperti diketahui, Badan Anggaran (Banggar) DPR menetapkan anggaran cost recovery atau penggantian biaya operasi kegiatan hulu migas dalam revisiAPBN-P 2016 sebesar US$ 8 miliar atau setara Rp 107 triliun. Nilai ini lebih rendah 30 persen dari alokasi dalam APBN 2016 yang sebesar US$ 11,4 miliar.
Menurut Ketua Banggar Kahar Muzakir, pemangkasan anggaran cost recovery menjadi sebesar US$ 8 miliar merupakan bagian dari upaya menekan pembengkakan defisit anggaran negara.
Di sisi lain, penerimaan negara dari sektor hulu migas saat ini masih di bawah target. Hingga 31 Mei lalu, penerimaan negara dari sektor hulu migas baru mencapai US$ 3,44 miliar. Sedangkan target tahun ini seperti tercantum dalam APBN 2016 sebesar US$ 12,3 miliar. (Baca: Penerimaan Migas Merosot Tajam)
Kegiatan pengeboran sumur eksplorasi juga sudah menunjukkan adanya penurunan dari tahun ke tahun. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, pengeboran sumur eksplorasi bisa mencapai 107 sumur pada 2011. Kemudian menurun menjadi 106 sumur pada tahun berikutnya, dan 101 sumur pada 2013. Jumlahnya terus menurun menjadi 83 sumur pada 2014, dan cuma 52 sumur tahun lalu. Sementara hingga 21 April lalu, sumur yang dibor baru sebanyak 10 sumur.
Rasio kesuksesan penemuan cadangan di Indonesia pun masih rendah. Sejak 2011 hingga 2015, rasio antara kegiatan pengeboran dengan cadangan yang ditemukan tidak lebih dari 30 persen. Pada 2011, rasio penemuan migas sebesar 32 persen, dan di 2015 hanya 29 persen.
Minimnya penemuan sumber minyak dan gas bumi (migas) baru di dalam negeri, membuat cadangan sumber daya alam tersebut terus menurun. Selama kuartal I-2016, cadangan minyak hanya sebesar 7.018 juta tangki barel (MMSTB). Angka ini lebih rendah dibandingkan periode sama tahun lalu yang mencapai 7.305 MMSTB.
Tidak hanya minyak, cadangan gas juga menurun. Pada kuartal I-2015, cadangan gas tercatat sebesar 151 triliun standar kaki kubik (TSCF). Namun, pada kuartal I tahun ini cadangannya tinggal 148 TSCF. (Baca: Eksplorasi Minim, Cadangan Minyak Turun Hampir Empat Persen)
Pencapaian lifting minyak juga masih di bawah target. Dari awal Januari hingga Mei lalu, lifting minyak baru mencapai 808 ribu barel per hari (bph) dari target 830 ribu bph. Sementara lifting gas sudah melebihi target 6.470 juta kaki kubik (mmscfd), yakni 6.642 mmscfd.
