Skema Gross Split Bisa Hambat Pengembangan Teknologi Migas
Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) menilai kontrak baru bagi hasil kerja sama minyak dan gas bumi berupa gross split tidak mendukung penggunaan teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR). EOR merupakan cara meningkatkan cadangan minyak pada suatu sumur dengan mengangkat volume minyak yang sebelumnya tidak dapat diproduksi.
Anggota IATMI Tutuka Ariadji mengatakan, dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 2017 tentang kontrak bagi hasil gross split, pemerintah hanya memberikan tambahan bagi hasil sebesar 5 persen untuk penggunaan teknologi EOR. Angka itu dinilai terlalu kecil. Padahal, teknologi ini menjadi salah satu alternatif untuk mendongkrak produksi.
"Dugaan kami EOR tidak jalan dengan gross split ," kata dia kepada Katadata, Jumat (20/1). (Baca: Aturan Terbit, Kontrak Baru Migas Pakai Skema Gross Split)
Agar pengembangan EOR bisa ekonomis bagi kontraktor, maka perlu aturan lainnya. Apalagi, karakteristik masing-masing blok migas tidak sama. Untuk satu lapangan minyak dan gas bumi (migas) saja bisa terdiri dari 10 jenis reservoir.
Selain itu, Tutuka mempertanyakan perhitungan bagi hasil antara kontraktor dan negara dalam aturan anyar tersebut. "Validasi angka-angka itu penting, kandungan H2S itu dari siapa angkanya, validasinya dari mana," ujarnya.
Sebagai gambaran, pada skema kontrak gross split, mekanisme bagi hasil awal (base split) ditentukan berdasarkan komponen variabel dan komponen progresif. Komponen variabel dan progresif ini bisa menambah atau mengurangi bagi hasil kontraktor dan negara. (Baca: Mengukur Manfaat Skema Baru Gross Split bagi Negara)
Besaran bagi hasil awal untuk minyak bumi yang menjadi bagian negara sebesar 57 persen, sisanya kontraktor. Sedangkan bagian negara dari produksi gas bumi sebesar 52 persen dan sisanya menjadi hak kontraktor.
Sementara yang mempengaruhi komponen variabel adalah status wilayah kerja, lokasi lapangan, kedalaman reservoir, ketersediaan infrastruktur pendukung, dan jenis reservoir. Selain itu, kandungan karbondioksida (CO2), kandungan hidrogen sulfida (H2S), berat jenis minyak bumi, tingkat komponen dalam negeri (TKDN) saat pengembangan lapangan, dan tahapan produksi.
Adapun, komponen progresif terdiri dari harga minyak bumi dan jumlah kumulatif produksi migas. Komponen progresif berdasarkan harga minyak dunia ini dilakukan setiap bulan berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan oleh SKK Migas. Evaluasi dilakukan berdasarkan perhitungan harga minyak mentah Indonesia bulanan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, menurut Tutuka, bagi hasil yang didapat negara bisa lebih kecil dibandingkan kontraktor. Bahkan, negara berpotensi tidak mendapatkan bagi hasil, dan hanya menggantungkan pajak. (Baca: Pelaku Industri Migas Kritik Aturan Baru Kontrak Gross Split)
Hal itu bisa terjadi di lapangan lepas pantai dengan kedalaman lebih dari 1.000 meter, maupun masih tahap rencana pengembangan (POD) I, kedalaman reservoir 2.600 meter dan berjenis shale, infrastrukturnya tergolong new frontier. Kemudian mengandung karbondioksida 1 persen, H2S 50 ppm, jenis minyak bumi 30, penggunaan komponen lokal 60 persen, tahapan produksi tersier, harga minyak bumi US$ 50 per barel dan kumulatif produksi 1 mmboe.