Kontraktor Migas Keluhkan Balik Modal Skema Gross Split Lebih Lama
Kontraktor minyak dan gas bumi (migas) mulai menimbang kerja sama gross split . Salah satu kelemahan skema anyar ini adalah tingkat pengembalian modal atau investasinya memakan waktu lebih lama dibandingkan skema sebelumnya.
Menurut Presiden Direktur Energi Pasir Hitam Indonesia (Ephindo) Sammy Hamzah, pengembalian investasi dengan skema gross split lebih lama karena seluruh biaya ditanggung oleh kontraktor. Akibatnya, tingkat keekonomian suatu proyek migas menjadi jelek.
(Baca: Skema Gross Split Bisa Hambat Pengembangan Teknologi Migas)
Untuk itu, pemerintah harus memikirkan jalan keluar agar investasi yang sudah dikeluarkan investor bisa lebih cepat kembali. “Ini yang harus diukur oleh pemerintah, bagaimana agar kontraktor bisa dapat biayanya lebih cepat,” kata dia di Jakarta, Kamis (9/3).
Selain itu, Sammy menganggap mekanisme penerapan skema gross split untuk blok migas yang sudah berjalan juga belum jelas. Salah satunya mengenai penggantian biaya yang sudah dikeluarkan kontraktor.
Hal ini juga yang dialami perusahaannya. Saat ini Ephindo memiliki tujuh kontrak untuk blok nonkonvensional yang sudah berjalan sejak tujuh tahun lalu. Biaya yang sudah dikeluarkan mencapai US$30 juta.
Jika menggunakan skema lama, maka ada penggantian dari pemerintah dalam bentuk cost recovery. Sedangkan kontrak gross split tidak menerapkan lagi cost recovery. "Kalau dibawa ke kontrak baru nanti sunk cost-nya dalam bentuk apa?” ujar Sammy.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memang sudah menawarkan adanya tambahan bagi hasil dengan diskresi sebesar lima persen. Namun, menurut Sammy, angka tersebut terlalu kecil. Ia menawarkan agar biaya yang sudah dikeluarkan itu diganti dengan pengurangan pajak korporasi.
Senada dengan Sammy, riset Wood Mackenzie berjudul "Indonesia's Gross Split PSC: Improved Efficiency at Risk of Lower Investment?" edisi Maret 2017 juga menyimpulkan jika skema gross split tidak akan menarik investasi baru. Menurut Research Analyst Wood Mackenzie kawasan Asia Tenggara, Johan Utama, dengan skema gross split, kontraktor akan lebih sulit mendapatkan tingkat keekonomian yang diinginkan.
Jika menggunakan skema lama maka waktu yang dibutuhkan untuk balik modal menjadi lebih panjang. “Sehingga sulit mencapai keekonomian proyek (Net Present Value dan Internal Rate of Return) seperti di skema lama,” ujar Johan. (Baca: Riset Terbaru, Skema Gross Split Migas Tak Menarik bagi Investor)
Sebaliknya, menurut hasil riset Wood Mackenzie, penerimaan negara bisa lebih tinggi dan cepat. Dengan skema gross split, total penerimaan negara bisa mencapai US$1,708 juta. Penerimaan negara bisa diperoleh sejak tahun pertama sampai produksi menurun.
Sedangkan skema yang ada saat ini, penerimaan negara hanya US$1.438 juta. Pemerintah menerima keuntungan pasca-royalti dari tahun keenam, dengan penurunan keuntungan yang diakibatkan depresiasi. dan penurunan stabil setelahnya
Hal ini menggunakan asumsi harga dasar gas US$6 per mcf, dan tingkat diskon 10 persen. Analisa ekonomi ini juga untuk sebuah lapangan gas yang memiliki cadangan 2 tcf, dengan belanja modal sebesar US$1.69 per mcf dan belanja operasional US$0.47 per mcf.
Hasil lainnya dari riset tersebut juga menyebutkan jika menggunakan skema gross split ada 32 persen dari total lapangan migas yang tidak ekonomis. Sementara skema lama hanya 22 persen. Ini dengan asumsi tingkat pengembalian investasi sebesar 15 persen. (Baca: Bertabur Insentif, Tingkat Investasi Blok Masela Tak Sampai 15 Persen)
Untuk ladang gas di laut dalam, pemerintah tidak cukup dengan hanya memberi tambahan bagi hasil sebesar lima persen. Agar ekonomis, harus ada insentif fiskal juga. Di sisi lain kontraktor juga harus berhasil menekan ongkos.