Susi Ingin PBB Akui Pencurian Ikan Sebagai Kejahatan Transnasional
Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Susi Pudjiastuti menyatakan bahwa perbudakan di kapal-kapal penangkap ikan merupakan masalah dunia. Ia pun mempromosikan Illegal Unreported Unregulated Fishing (IUUF) agar diakui sebagai kejahatan transnasional terorganisir oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Susi berharap, negara-negara lain bisa mengikuti langkah Indonesia sehingga nantinya ada aturan yang disepakati bersama untuk memerangi kejahatan ini. Hal itu disampaikannya dalam Konferensi lnternasional tentang Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) di lndustri Perikanan, hari ini.
Turut dalam konferensi ini, Kementerian Tenaga Kerja, ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR), dan Kedutaan Besar Kerajaan Belgia. “Kami ingin ini diakui oleh dunia terutama UN (United Nation), FAO (Food and Agriculture Organization), Afrika, Eropa,” kata Susi dalam sambutannya di kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta, Senin (27/3).
(Baca juga: Menteri Susi Tangkap 17 Kapal Pencuri Ikan Asal Vietnam dan Filipina)
Susi mengatakan, kerjasama antar negara harus dilakukan untuk tangkal pelanggaran HAM di sektor perikanan. Sebab para pelaku pelanggaran juga berkerja secara transnasional. Ia mencontohkan, praktik perbudakan yang dilakukan PT Pusaka Benjina Resources (PBR) terhadap 128 nelayan asal Myanmar dan Thailand yang kasusnya terungkap 2015 lalu.
Kementerian Kelautan dan perikanan juga secara rutin melakukan analisis dan evaluasi pada kapal ikan eks-asing di Indonesia. Dalam temuan terakhir, dari 1132 kapal ikan eks-asing, sebanyak 14,8 persen atau 168 kapal melakukan tindak pidana perdagangan manusia dan kerja paksa.
Sementara, International Organization for Migration (IOM) melaporkan bahwa 1207 dari 1258 nelayan asing yang bekerja di kapal ikan eks-asing merupakan korban perdagangan manusia di perairan domestik.
(Baca juga: Susi Libatkan Polri dan Satgas 115 Berantas Kejahatan Perikanan)
Selain itu, Susi juga mengatakan bahwa hal yang sama terjadi pada anak Buah Kapal (ABK) Indonesia di luar negeri. Berdasarkan catatannya, setidaknya ada 250 ribu ABK Indonesia yang dilaporkan mengalami perlakuan tidak manusiawi. Di antaranya seperti korban perdagangan manusia, kerja paksa, eksploitasi anak, penyiksaan, pembayaran di bawah tingkat minimum, dan bekerja tanpa perlindungan kesehatan.
Atas temuan-temuan tersebut, Susi menerbitkan tiga peraturan untuk melindungi hak asasi para awak kapal nasional. Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri nomor 35 tahun 2015 tentang Sistem dan Sertifikasi HAM, Peraturan Menteri nomor 42 tahun 2016 tentang perjanjian Kerja Laut Bagi ABK, dan Peraturan Menteri nomor 2 tahun 2017 tentang Mekanisme Sertifikasi HAM di Industri Perikanan.
(Baca juga: Menteri Susi Janji Berantas Pencurian Ikan dalam Dua Tahun)
Sementara, Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri yang juga hadir dalam acara tersebut mengatakan bahwa persoalan tenaga kerja di industri perikanan dalam negeri berpangkal pada status informalnya.
"Tantangannya bagaimana mentransformasikan informalitas ini agar lebih formal, agar terikat dengan seluruh aturan yang ada," ujar Hanif.