Eksternal Tak Pasti, Pemerintah Ramal Rupiah di 2018 Dekati 14 Ribu
Pemerintah memproyeksikan nilai tukar rupiah berada di kisaran 13.600 hingga 13.900 per dolar Amerika Serikat (AS) pada tahun depan. Secara rata-rata, posisi rupiah diprediksi sebesar 13.700 per dolar AS atau melemah tiga persen dari proyeksi tahun ini yang berada di level 13.300 per dolar AS.
Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN) Bambang Brodjonegoro menjelaskan, proyeksi pelemahan rupiah tahun depan karena pemerintah ingin memasang target konservatif ketimbang terlalu optimistis dengan mematok target tinggi. Pertimbangannya, kondisi eksternal atau perekonomian global saat ini masih dipenuhi ketidakpastian.
(Baca: Tertahan Rp 13.300, BI: Rupiah di Bawah Nilai Fundamental)
Bambang mencatat beberapa kondisi eksternal tersebut, seperti sikap proteksionisme Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Bahkan, Indonesia terancam sanksi dan masuk dalam daftar negara yang berlaku “curang” dalam hubungan dagang dengan AS.
Selain itu, bank sentral AS, the Federal Reserve juga dipastikan akan melanjutkan kebijakan menaikkan suku bunga acuan dananya (Fed Fund Rate) mulai tahun ini. "The Fed sudah pasti menaikkan tingkat bunga sebagai bagian dari normalisasi kebijakan moneter di AS. Meskipun dampaknya tidak terlalu berat lagi bagi rupiah, kami lebih baik ambil posisi yang konservatif," kata Bambang di Jakarta, Selasa (11/7).
Sementara itu, Kepala Ekonom SKHA Consulting Eric Sugandi juga berpandangan bahwa kondisi global saat ini masih diliputi ketidakpastian. Kondisi tersebut berpotensi menekan mata uang rupiah. (Baca: BI Yakin Indonesia Bukan Incaran Sanksi Dagang Trump)
Situasi yang bisa memperlemah rupiah yakni kebijakan proteksionisme Trump yang bisa berpengaruh negatif terhadap ekspor Indonesia. Selain itu, kenaikan Fed Rate berpotensi menyebabkan keluarnya dana asing (capital outflows) dari pasar modal dan keuangan di Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi Tiongkok juga masih dalam tren pelemahan. Bank Pembangunan Asia atau Asian Development Bank (ADB), misalnya, memperkirakan pertumbuhan ekonomi Tiongkok pada tahun ini turun menjadi 6,5 persen. Bahkan, tren ini terus berlanjut tahun depan sehingga ekonomi Tiongkok cuma tumbuh 6,2 persen. Angkanya lebih rendah dibandingkan realisasi pertumbuhan ekonomi tahun lalu sebesar 6,7 persen.
Selain itu, risiko juga datang dari implementasi keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Britain Exit/Brexit). Hal ini bisa mempengaruhi pergerakan pasar finansial jangka pendek. (Baca: Fitch: Jangka Pendek, Bank Tertekan Kredit Macet dan Bunga The Fed)
Di dalam negeri, jufa ada risiko pelemahan rupiah. Eric menunjuk momen pemilihan umum dan pemilihan presiden pada dua tahun mendatang. "Ada risiko juga investor asing secara bertahap menarik sebagian dananya setahun sebelum pemilihan karena mereka mungkin menghindari risiko, sambil wait and see siapa (presiden) yang terpilih," katanya kepada Katadata, Rabu (12/4).
Meski dilingkupi oleh ketidakpastian, Erik tetap optimistis rupiah akan bergerak di kisaran 13.000 hingga 13.300 per dolar AS tahun depan. Sebab, sebagian besar risiko eksternal tersebut sudah diantisipasi oleh pelaku pasar di Indonesia.