Kelabui Pemerintah, Pengusaha Tekstil di Kawasan Berikat Ekspor Air
Kementerian Keuangan menemukan adanya kecurangan yang dilakukan pengusaha tekstil di kawasan berikat. Kecurangan tersebut berupa ekspor fiktif dan impor tekstil ilegal. Empat kasus di antaranya berhasil dibongkar dengan potensi kerugian negara mencapai lebih dari Rp 100 miliar.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi menjelaskan, kecurangan tersebut dilakukan perusahaan lantaran ingin memanfaatkan keringanan pajak di kawasan berikat. Tujuannya, untuk meraup keuntungan besar.
“Modus yang mereka lakukan ini semua supaya dapat fasilitas, seperti keringanan pajak. Padahal yang mereka ekspor adalah air, diberat-beratin supaya dapat insentif. Ada juga yang mau dapat fasilitas masuk kawasan berikat,” tutur Heru saat konferensi pers di kantornya, Jakarta, Rabu (3/5). (Baca juga: Penerimaan Seret, Sri Mulyani Bidik Rasio Pajak Cuma Naik 1 Persen)
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, salah satu kasus yang dimaksud terkait PT SPL. Perusahaan tersebut melakukan ekspor fiktif. Dalam dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB), perusahaan menyatakan akan mengekspor 4.038 roll (gulungan) kain. Namun, petugas Bea Cukai Jawa Barat dan intelijen Bea Cukai Tanjung Priok menemukan hanya ada 583 roll kain.
Dalam kasus ini, dua orang telah ditetapkan sebagai tersangka, masing-masing berinisial FL dan BS. Selain itu, telah dilakukan juga penyitaan terhadap 16 rekening bank, tanah dan bangunan, mesin tekstil, apartemen, dan polis asuransi.
“Berdasarkan hasil audit investigasi, potensi kerugian negara akibat pelanggaran ini diperkirakan kurang lebih sebesar Rp 118 Miliar,” Sri Mulyani. (Baca juga: Setahun Berdiri, Pusat Logistik Sumbang Rp 157 Miliar ke Negara)
Perusahaan pun dijerat dengan Pasal 103 huruf a atau pasal 102 huruf f Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2006 tentang perubahan UU Nomor 1O Tahun 1995 tentang Kepabeanan jo. pasal 64 ayat (1) KUHP dan pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Kasus yang hampir sama pernah terbongkar pada September tahun lalu. Ketika itu, Bea Cukai Tanjung Priok dan Kepolisian Resort Tanjung Priok menemukan adanya perusahaan yang melaporkan mengekspor tirai atau gorden, namun setelah diperiksa, barang yang diekspor adalah air dalam plastik yang dibungkus kain dan karton.
Dari penelitian petugas, didapati bahwa barang-barang tersebut milik PT LHD, perusahaan penerima fasilitas kawasan berikat yang berada di wilayah Bandung. Kasus ini diperkirakan merugikan negara sebesar Rp 7 miliar.
Dalam kasus itu, satu orang oknum perusahaan berinisial YT telah ditetapkan sebagai tersangka. Ia dijerat dengan pasal 103 huruf a dan pasal 102A huruf d UU Nomo 17 Tahun 2006 tentang perubahan UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan jo. pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
“Pelanggaran ekspor yang berhasil ditindak tidak hanya berupa pemberitahuan yang tidak benar pada dokumen PEB, namun juga berupa pembongkaran atau penimbunan barang tidak pada tempat yang ditentukan,” kata Sri Mulyani.
Kasus lainnya terjadi 23 Maret tahun ini, petugas Bea Cukai menggagalkan laju lima unit truk milik PT WS yang mengangkut barang tekstil dan produk tekstil (TPT) dari kawasan berikat. Barang-barang ini seharusnya diekspor, namun malah dibongkar di Pondok Gede, Bekasi. Satu orang berinisial KH pun diamankan oleh petugas dan telah ditetapkan sebagai tersangka.
Atas penindakan ini, perusahaan dijerat Pasal 102A huruf d UU No. 10 Tahun 1995 jo. UU No. 17 Tahun 2006 karena membongkar barang, ekspor di dalam daerah pabean tanpa izin Kepala Kantor Pabean jo. Pasal 55 KUHP.
Sebelumnya, kasus serupa pernah terbongkar pada September 2015. Ketika itu, Bea Cukai Tanjung Priok dan Bea Cukai Jawa Barat mengungkap kasus impor tekstil ilegal PT KYH dan PT YI, yang berlokasi di Purwakarta. Modusnya, mempongkar barang impor di luar kawasan berikat untuk alangsung diangkut ke tempat lain dan dijual ke pembeli akhir tanpa membayar bea masuk dan pajak dalam rangka impor.
Atas pelanggaran ini telah ditetapkan lima orang tersangka AMF, EWY, AF, JJ, dan PK. Tersangka dijerat dengan Pasal 103 huruf a UU Nomor 17 Tahun 2006 tentang perubahan UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan jog pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Total potensi kerugian negara kurang lebih mencapai Rp 2 Miliar.
Dirjen Bea dan Cukai Heru Pambudi mengatakan, penindakan atas kasus-kasus tersebut lebih mudah lantaran adanya kerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Ditjen Pajak, dan lnspektorat Jenderal Kementerian Keuangan. Bahkan, penindakan juga sudah dilakukan dengan pemblokiran rekening ataupun tanah.