BI Minta Dukungan Jokowi Muluskan RUU Redenominasi Rupiah
Bank Indonesia (BI) berencana segera menemui Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk meminta dukungan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Redenominasi atau penyederhanaan mata uang. BI berharap Presiden Jokowi menyetujui usulan redenominasi dan dapat mengeluarkan Amanat Presiden (Ampres) sehingga RUU dapat segera dibahas bersama DPR pada Agustus mendatang.
"Kami harapkan bapak Presiden Jokowi akan mendukung redenominasi mata uang. Karena kami melihat stabilitas ekonomi terjaga, politik terjaga, ini saat yang tepat untuk bisa mengajukan RUU Redenominasi Mata Uang," ujar Gubernur BI Agus Martowardojo di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Jumat (21/7).
Agus memaparkan, BI sudah membicarakan rencana ini dengan Menteri Keuangan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, dan Menteri Hukum dan HAM. Agus mengklaim, ketiganya mendukung rencana redenominasi rupiah. Sehingga, BI bersama para menteri tersebut yang akan menyambangi Presiden Jokowi untuk meminta dukungan.
(Baca juga: BI Ajak DPR 'Pemanasan' Bahas Redenominasi Mata Uang)
Agus berharap pembahasan RUU Redenominasi rupiah dapat diusulkan ke DPR sebelum memasuki masa kerja DPR tanggal 16 Agustus 2017. "Dari pemerintah, kami berharap Bu Menkeu dan Menkumham yang akan memimpin. Kalau seandainya kami bisa usulkan redenominasi mata uang, dan mungkin dibuat Pansus atau akan ada kekhususan karena RUU ini hanya ada 17 pasal. Ini suatu langkah strategis bagi Indonesia.," ujarnya.
Pimpinan Bank Sentral itu menjelaskan, redenominasi rupiah bisa memberikan persepsi poistif bagi Indonesia. Langkah ini dinilai bisa membuat Indonesia lebih efisien dan membuat kepercayaan diri yang tinggi kepada ekonomi Indonesia. Alasannya, Indonesia merupakan salah satu dari beberapa negara yang memiliki nilai tukar US$ 1 setara dengan Rp 13.000. Padahal, Malaysia saja hanya sekitar 4 ringgit dan Singapore hanya SGD 1,5.
Dia menjelaskan BI telah menyusun perkiraan timeline dalam proses redenominasi rupiah ini. Dirinya memperhitungkan, pembahasan RUU Redenominasi ini akan masuk tahun 2017 dan bisa disahkan. Kemudian, di tahun 2018-2019 adalah tahun persiapan.
(Baca juga: Gubernur BI Minta Dukungan Jokowi Ubah Rp 1.000 Jadi Rp 1)
Selanjutnya pada 2020-2024 periode transisi di mana waktu untuk memperkenalkan rupiah sebelum dan sesudah redenominasi. Masa lima tahun ini akan digunakan untuk mulai membiasakan penggunaan nilai rupiah yang baru, di mana dalam RUU tersebut akan diatur semua harga barang dan jasa harus ada tabel harga lama dan baru.
Terakhir, tahun 2025-2028 adalah masanya penggunaan secara total hasil redenominasi tersebut. "Jadi praktis 11 tahun. Tapi kami harus mulai," ujar Agus.
Berbeda dengan BI, ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetiantono menilai wacana redenominasi rupiah belum layak dilakukan dalam waktu dekat. Dia mengatakan beberapa faktor penentu masih belum mendukung implementasi rencana ini.
(Baca: Komisi Keuangan Setuju Putuskan Redenominasi Rupiah Tahun Ini)
Ia menilai, redenominasi sebaiknya dilakukan saat pertumbuhan ekonomi stabil di di atas 6 persen. Selain itu, nilai tukar rupiah saat ini terbilang masih rentan yakni sekitar Rp 13.300. Kemudian, redenominasi juga harus menunggu hingga neraca perdagangan dan cadangan devisa yang harus lebih tinggi dan berkualitas.
"Saya setuju (redenominasi) tapi waktunya tidak pas. Apalagi jika terburu-buru membuat masyarakat panik dan ada risiko inflasi, capital outflow, rupiah melemah, dan cadangan devisa merosot," ujarnya.