BI Dilaporkan ke Ombudsman Terkait Biaya Isi Ulang Uang Elektronik
Pengacara David Tobing melaporkan Gubernur Bank Indonesia (BI) ke Ombudsman Republik Indonesia. David menilai rencana BI yang hendak mengenakan biaya isi ulang kartu elektronik alias e-Money diduga bentuk tindakan maladministrasi.
"Kebijakan tersebut berpotensi menimbulkan ketidakadlilan dan diskriminasi bagi konsumen," kata David kepada Katadata, usai melaporkan ke Ombudsman, Senin (18/9).
BI berencana mengeluarkan keputusan terkait skema pengenaan biaya isi ulang yang dikenakan dalam uang elektronik. Kebijakan ini akan segera diterbitkan setelah membicarakan dengan perbankan dan badan usaha jalan tol.
David menyebutkan kebijakan Bank Indonesia (BI) tersebut menyebabkan ketidakadilan bagi konsumen. "Konsumen dipaksa untuk tidak bayar tunai, dan uang elektronik mengendap di bank," kata David.
David juga menyatakan uang elektronik tidak memperoleh bunga dan, tidak dijamin Lembaga Penjamin simpanan. Selain itu jika kartu hilang, maka uang yang tersisa di kartu akan hilang.
"Konsumen seharusnya mendapat insentif dan bukan disentif dalam pelaksanaan program cashless society," kata David.
David juga mengkritik kebijakan cashless yang berpotensi melanggar Pasal 2 ayat (2), 23 ayat (1), 33 ayat (2) UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Dalam ketentuan tersebut diatur secara tegas bahwa setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran dan pelanggarannya diancam pidana paling lama satu tahun dan pidana denda paling banyak Rp 200 juta.
Dalam laporannya, David mohon kepada Ombudsman memberikan rekomendasi kepada Bank Indonesia untuk membatalkan rencana penerbitan kebijakan pengenaan biaya untuk isi ulang kartu elektronik.
Sebelumnya Direktur Pengembangan Bisnis Bank Central Asia (BCA) Santoso Liem mengungkapkan bahwa BI akan segera memfinalkan kebijakan mengenai biaya isi ulang uang elektronik. Dia memperkirakan, biaya tersebut berkisar antara Rp 1.000-2.000 per satu kali isi ulang. Biaya ini diklaimnya tidak akan memberatkan masyarakat.
"Menurut saya, kalau membayar satu nilai kecil, itu menjaga sistem. Kalau tidak ada nanti yang kelola gate tidak ada yang me-maintain, nanti rusak semua," ujarnya.
Sementara itu, Corporate Secretary Bank Mandiri Rohan Hafas mengatakan, biaya untuk melakukan isi ulang uang elektronik memang untuk melakukan pemeliharaan terhadap infrastruktur pendukungnya. Biaya ini diperlukan guna terus mendorong gerakan nasional non tunai.
Rohan juga menjelaskan biaya tersebut memang belum diputuskan berapa besar. Namun, kabar beredar yang dia dengar, berkisar Rp 1.000-1.500 per satu kali isi ulang. Menurutnya biaya ini bisa dibilang murah atau mahal tergantung pelayanan yang diberikan.
Dirinya mencontohkan, biaya tersebut akan terlihat murah apabila perbankan memberikan akses kemudahan dalam melakukan isi ulang tersebut. Misalnya, Bank Mandiri yang akan bisa melakukan isi ulang melalui telepon selular dengan teknologi NFC. Sehingga masyarakat tidak perlu jauh-jauh keluar rumah untuk melakukan transaksi tersebut.