Sebut Tak Berdasar Hukum, Setya Novanto Minta Status Tersangka Dicabut
Tim pengacara Ketua DPR RI Setya Novanto meminta agar Hakim Tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membatalkan status tersangka kliennya. Alasannya, penetapan status tersangka Setnov oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dianggap tanpa dasar hukum yang kuat.
Pengacara Amir Khair Rasin mengatakan prosedur penetapan Novanto sebagai tersangka tak sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU 30 Tahun 2002 tentang KPK, dan SOP 01/23/2008 mengenai Prosedur Kegiatan Penyidikan.
"Mengingat penetapan tersangka tidak dilakukan sesuai ketentuan dan prosedur yang berlaku berdasarkan KUHAP dan UU 30 Tahun 2002 tentang KPK maka jelas penetapan tersangka terhadap pemohon tidak sah dan harus dibatalkan," kata Amir di PN Jaksel, Jakarta, Rabu (20/9).
Sidang praperadilan ini berlangsung tanpa kehadiran Setya Novanto yang kini menjalani pengobatan di RS Premier, Jatinegara, Jakarta Timur. Sebelum sidang praperadilan, Setnov mangkir dua kali dari pemeriksaan di KPK.
Amir mengatakan Setnov diumumkan sebagai tersangka pada 17 Juli 2017 berdasarkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan nomor 56/01/07/2017. Sementara, Setya Novanto baru mendapatkan pemberitahuan dimulainya penyidikan pada 18 Juli 2017.
Amir mengatakan Setya Novanto menjadi tersangka tanpa terlebih dahulu memeriksa saksi-saksi dan alat bukti lainnya. Selain itu, Novanto juga dianggap tak pernah diperiksa dalam proses penyidikan sebelum penetapan tersangka. Padahal keterangan kliennya penting sebagai alat bukti penetapan tersangka.
"Pemohon sama sekali tidak pernah diperiksa sebagai saksi dalam proses penyidikan," kata kuasa hukum Novanto, Ida Jaka Mulyana.
Alat bukti yang digunakan KPK dalam perkara milik terdakwa korupsi proyek pengadaan e-KTP, Irman dan Sugiharto juga dianggap tidak sah. Ida mengatakan, secara yuridis alat bukti suatu perkara tidak bisa digunakan untuk membuktikan perkara lainnya.
Kuasa hukum pun menilai sangkaan terhadap Novanto oleh KPK hanya berdasarkan asumsi. Sebab, kata Ida, nama Novanto tak disebut dalam pertimbangan hakim terkait orang-orang yang diduga menerima keuntungan dari kasus korupsi e-KTP.
"Kutipan dalan kesimpulan putusan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor juga tidak menyebutkan nama pemohon bersama dengan terdakwa Irman dan Sugiharto," kata Ida.
(Baca: Jadi Saksi di Pengadilan, Setya Bantah Mendalangi Korupsi Proyek e-KTP)
Adapun, penyidik yang mengusut perkara Novanto juga dianggap tak berwenang. Sebabnya, penyidik yang ditunjuk berasal dari Polri dan Kejaksaan namun belum diputuskan pemindahannya.
"Termohon tidak sesuai dengan prosedur pengangkatan penyidik yang hanya mengakui penyidik dari polri dan kejaksaan yang diberhentikan sementara sehingga Sprindik tidak sah menurut hukum," kata Ida.
Selain meminta pembatalan penetapan tersangka Novanto, kuasa hukum juga meminta agar KPK menghentikan proses penyidikan. Kuasa hukum juga meminta agar pencekalan terhadap Novanto dihentikan.
Amir menilai, pencekalan oleh KPK tidak tepat karena kliennya dianggap kooperatif. "Memerintahkan termohon mencabut penetapan pencegahan terhadap Setya Novanto sejak putusan ini diucapkan dalam hal dilakukan pencekalan," kata Amir.
Menanggapi hal ini, Kepala Biro Hukum KPK Setiadi menyatakan akan memberikan jawaban atas permohonan kuasa hukum Novanto pada Jumat (22/9). Setiadi mengatakan, pihaknya akan memberikan jawaban komprehensif dalam sidang lanjutan tersebut. "Nanti akan kami sampaikan pada Jumat," kata Setiadi.