Jadi Saksi di Pengadilan, Setya Bantah Mendalangi Korupsi Proyek e-KTP
Bantahan dan sanggahan dari para pejabat yang diduga menerima uang suap terus mewarnai proses persidangan kasus dugaan korupsi proyek pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). Dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (6/4) ini, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) setya Novanto membantah menerima suap dan mendalangi kasus korupsi proyek yang merugikan negara sekitar Rp 2,3 triliun tersebut.
Setya menyatakan tidak tahu-menahu perihal penganggaran dan pengadaan proyek senilai Rp 5,22 triliun tersebut. Meskipun ketika proyek pengadaan e-ktp berikut penganggarannya dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tahun 2010-2011, dia menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar.
Ia juga membantah adanya aliran dana proyek itu ke Partai Golkar sebesar Rp 150 miliar. "Saya tidak tahu, saya tidak pernah tahu," kata Setya ketika bersaksi di ruang pengadilan. (Baca: Penyidik KPK Sebut 5 Nama Anggota DPR Pengancam Saksi Kasus e-KTP)
Ketua Umum Partai Golkar ini hanya mengaku mengetahui proyek e-ktp sebatas informasi mendasar. "Bahwa proyek e-KTP adalah program nasional yang sangat bermanfaat bagi data kependudukan masyarakat," katanya.
Setya mengaku memperoleh informasi tersebut dari laporan Ketua Komisi II DPR saat itu yang juga anggota Partai Golkar, Chairuman Harahap, dalam rapat pleno fraksi setiap bulan.
Setya juga menyanggah ketika Ketua Majelis Hakim Jhon Halasan Butarbutar menanyakan perannya sebagai pengatur bagi-bagi uang proyek e-ktp tersebut. “Itu tidak benar, saya yakin Yang Mulia," katanya.
Sebelumnya, dalam surat dakwaan yang dibacakannya dalam sidang perdana kasus korupsi e-ktp ini, 9 Maret lalu, jaksa penuntut umum Irene Putry merinci peran Setya. Ia diduga terlibat merancang penganggaran proyek e-KTP yang telah menyeret mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Irman dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kemendagri Sugiharto sebagai terdakwa kasus korupsi tersebut.
(Baca: Ganjar Pernah Diminta Setya Novanto Tak Galak Bahas Proyek e-KTP)
Setya bersama dua orang anggota DPR kala itu: Anas Urbaningrum dan Muhammad Nazaruddin serta seorang pengusaha, Andi Agustinus alias Andi Narogong, mengkondisikan pembagian uang proyek tersebut. Atas peran tersebut, jaksa menyebut, Setya dan Andi diduga mendapat jatah Rp 574,2 miliar atau 11 persen dari nilai proyek tersebut. Jumlah yang sama diterima Anas dan Nazaruddin.
Selain itu, puluhan politisi yang saat itu merupakan Anggota Komisi II DPR dan Badan Anggaran DPR juga diduga menerima dana suap ratusan miliar rupiah.
Namun, Setya juga membantah kedekatannya dengan Andi Narogong. Ia mengaku hanya dua kali bertemu Andi. Pertama kali pada tahun 2009 di restoran milik Setya.
Menurut dia, saat itu Andi tiba-tiba datang dan memperkenalkan diri sebagai pengusaha konveksi. Andi kemudian menawarkan kerjasama pembuatan atribut Partai Golkar. Pertemuan kedua tak lama berselang, juga dengan agenda serupa.
Sidang hari ini juga menghadirkan mantan Ketua Fraksi Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Senada dengan Setya, Anas yang saat ini menjadi terpidana kasus korupsi proyek Hambalang, juga membantah telah kecipratan uang korupsi proyek e-ktp.
(Baca: Sidang Perdana Korupsi E-KTP Ungkap Nama Ketua DPR, Menteri, Gubernur)
Dalam dakwaannya, jaksa menyebut Anas menerima Rp 574 miliar untuk kepentingan Kongres Partai Demokrat di Bandung tahun 2010. Anas membantah keterangan tersebut. Menurut dia, dana penyelenggaraan kongres dikumpulkan dari uang yang sukarela diberikan tim pemenangan. Apalagi, asal-usul uang kongres tersebut sudah dibuktikan dalam kasus korupsi proyek Hambalang.
Anas juga mengaku sama sekali tidak mengenal dan belum pernah bertemu dengan Andi Narogong. Padahal, dalam dakwaan dan menurut kesaksian mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Mauhammad Nazarudin di persidangan sebelumnya, Anas sering bertemu Andi untuk membahas proyek e-KTP.
Menganggap tuduhan yang dilayangkan padanya tidak benar. Anas mengatakan akan membantu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengungkap kebenaran. Ia juga menuding Nazarudin inkonsisten dan melakukan fitnah berkali-kali.
“Prinsipnya adalah saya akan membantu KPK untuk membedakan mana fakta, mana fiksi, mana cerita kosong dan mana keterangan yang benar. Mana fitnah dan mana yang fitness,” ujar Anas.