BI Sebut Tiga Faktor Global Penyebab Rupiah Melemah Tembus Rp 13.500
Bank Indonesia (BI) menjelaskan, penyebab rupiah melemah hingga mencapai mencapai Rp 13.582 per dollar AS pada hari ini. Sedikitnya terdapat tiga faktor global yang membuat rupiah melemah beberapa hari terakhir ini.
Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara menjelaskan, ketiga faktor global ini juga menyebabkan pelemahan terhadap mata uang lainnya. Dirinya mencatat, sejak tanggal 20 September 2017, rupiah mengalami pelemahan 0,22%, Rupee India 1,9%, Yen Jepang 1,7%, dollar Singapore 1,6%, dan Tiongkok Reminbi 1,6%.
"Jadi lihat perbandingan dengan regional, artinya karena (faktor) global," ujar Mirza saat ditemui di Hotel Ritz-Charlton Kuningan, Jakarta, Selasa (3/10). (Baca juga: Ditekan Sentimen Global, Kurs Rupiah Tak Sekuat Ringgit dan Bath)
Mirza menjelaskan, terdapat tiga faktor utama yang menjadi tekanan mata uang di negara-negara Asia, khususnya Indonesia. Pertama, Presiden AS Donald Trump mengajukan proposal baru terkait dengan penurunan pajak di AS. Walaupun, proposal ini belum dibahas secara komprehensif dan belum ada keputusan apakan akan diterima oleh senat dan kongres AS, tetapi hal ini memiliki imbas.
Mirza menjelaskan, imbas tersebut yakni adanya sentimen dan harapan bahwa perekonomian AS akan tumbuh lebih cepat lagi, sehingga menyebabkan suku bunga bank sentral AS The Federal Reserve akan naik lebih cepat. "Kalau begitu kan nilai dollar akan menarik kembali," ujarnya.
(Baca juga: Menko Perekonomian Menilai Inflasi September Masih Baik)
Kedua, pelemahan rupiah ini didorong oleh pernyataan Gubernur The Fed Janet Yellen pekan lalu yang mengatakan bahwa kenaikan suku bunga The Fed pada Desember nanti kemungkinan akan lebih tinggi. Padahal, sebelumnya pasar masih belum percaya AS akan kembali menaikan suku bunganya. Namun, dengan pernyataan tersebut, kenaikan ketiga ini akan terjadi di Desember.
Ketiga, adanya spekulasi mengenai pergantian gubernur The Fed pada awal tahun 2018 mendatang. Terdapat satu calon yang memiliki pandangan bahwa lebih baik menghadapi situasi moneter yang ketat. "Hal-hal seperti ini yang oleh pasar keuangan dijadikan topik 10 hari terakhir. Tapi pada akhirnya akan kembali ke fundamental masing-masing," ujarnya.
Mirza pun menegaskan, kondisi fundamental perekonomian Indonesia cukup baik, sehingga dampak dari adanya sentimen-sentimen tersebut tidak terlalu berdampak besar. Mirza mengatakan, hal ini terlihat dari neraca pembayaran Indonesia yang sehat, bahkan BI merevisi ke atas surplus neraca pembayaran menjadi US$ 11 miliar dari US$ 6 miliar di awal tahun.
Selain itu, angka inflasi pun terjaga dengan baik yakni sebesar 0,13 persen di September 2017 atau 3,7 persen secara tahunan. Inflasi Indonesia pun diyakini akan di bawah 4% sepanjang tahun 2017 ini. Kemudian, pertumbuhan ekonomi juga akan membaik di mana kuartal tiga akan berada di angka 5,1-5,2% dan kuartal empat di angka 5,1-5,4%.
"Jadi akan ada recovery. Ekonomi Indonesia akan baik-baik saja," ujar Mirza.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, beberapa negara juga mengalami pelemahan terhadap nilai mata uangnya. Namun, Darmin enggan menyebutkan dampak yang bisa terjadi ke perekonomian Indonesia.
"Memang mungkin ada kaitannya dengan AS yang mau kenaikan tingkat bunga. Itu bisa ada hubungannya dengan itu," ujar Darmin.