Mendobrak Mitos Audit BPK dan Opini WTP

Mutia Rizal
Oleh Mutia Rizal
5 Juni 2017, 09:24
Jokowi
Katadata
Pimpinan dan anggota BPK menyampaikan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2016 dan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) kepada Presiden, Jakarta (5/10).

Di level diskursus birokrasi pemerintahan, audit keuangan atau audit atas laporan keuangan banyak dipersepsikan sebagai kegiatan pemeriksaan keuangan yang komprehensif untuk menemukan penyimpangan dan identifikasi tindakan koruptif.

Masyarakat umum dan banyak birokrat juga belum paham betul dengan kebenaran sifat audit keuangan. Mereka mempersepsikan jika opini hasil audit Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) maka pengelolaan keuangan telah dinyatakan bersih dari penyimpangan.

Advertisement

Alhasil, masih banyak yang terpana ketika sebuah instansi pemerintah mendapatkan opini WTP, tetapi tiga bulan kemudian beberapa pejabat di instansi tersebut tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Meski telah dijelaskan oleh Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), banyak yang belum memahami bahwa tujuan audit keuangan hanyalah untuk memeriksa penyajian angka-angka di laporan keuangan. Pemeriksaan itu terutama terkait kesesuaian penyajiannya dengan standar akuntansi, kepatuhan terhadap peraturan dan kelemahan sistem pengendalian internal.

Jadi, audit keuangan itu bukan untuk menentukan bersih-tidaknya dari penyimpangan, apalagi kinerja sebuah instansi pemerintah.

Jika menilik arti dan manfaat sebenarnya dari kegiatan audit keuangan, maka pengertian audit keuangan tidak akan ‘semencekam’ yang banyak dibayangkan masyarakat.

Audit keuangan adalah kegiatan pemeriksaan yang berfungsi memberikan pendapat atas kewajaran suatu penyajian informasi laporan keuangan. Artinya, pemeriksaan ditujukan untuk melihat kualitas informasi akuntansi yang dibandingkan dengan prinsip-prinsip akuntansi dan standar yang berlaku.

Secara teoritis seharusnya audit keuangan tidak mencekam seperti yang dibayangkan selama ini. Sayangnya, praktik audit ini di Indonesia, terutama yang dilakukan oleh BPK, telah berubah menjadi sangat ‘mencekam’.

Hal ini karena beberapa auditor BPK telah berimprovisasi dalam melakukan pemeriksaan di lapangan sehingga akhirnya memberi kesan menakutkan bagi instansi yang diaudit. Karena itulah, lalu masyarakat awam berharap lebih banyak dari audit laporan keuangan. Semacam gayung bersambut, terjalinnya improvisasi auditor dengan ekspektasi masyarakat. 

Begitu pula terkait pemanfaatannya. Laporan keuangan yang telah diaudit dianggap mampu diandalkan dan bermanfaaat menjadi bahan pengambilan keputusan yang baik.

Padahal, pengambilan keputusan ternyata belum banyak memanfaatkan laporan hasil audit keuangan ini. Bahkan, pemangku kepentingan tertentu masih kesulitan melakukan interpretasi terhadap arti dari laporan keuangan. Kebanyakan para pemangku kepentingan hanya membaca judul dari pernyataan opini, apakah WTP atau tidak. WTP kesannya adalah auditor telah memberikan stempel “approved”.

Ketidakpahaman pemangku kepentingan, masyarakat, maupun sebagian birokrat ini dapat dimaklumi mengingat berbagai pihak telah membangun dan membentuk sendiri mitos ritual audit keuangan ini. Ya, audit keuangan sebenarnya tidak lebih dari sebuah ritual yang dilakukan jika sebuah instansi memiliki laporan keuangan. Ritual yang harus dijaga agar mitos pengelolaaan keuangan yang baik mampu diraih.

Mitos tidak dapat terbangun dengan sendirinya. Ada upaya tertentu dari berbagai pihak untuk membuat sebuah penanda menjadi makna tertentu yang mengakar kuat di masyarakat. Mitos bukan konsep atau ide, tetapi merupakan suatu cara pemberian arti.

Mengacu kepada konsep mythologies dalam buku yang ditulis oleh Roland Barthes, mitos mengenal tiga unsur, yaitu penanda, petanda, dan tanda. Laporan audit sebagai penanda, sedangkan opini sebagai petanda. Adapun, tanda adalah hubungan antara penanda dan petanda yang mempunyai arti khusus, yang bisa jadi arti tersebut adalah tata kelola keuangan yang baik.

Dalam hal ini, mitos yang dibangun terhadap opini laporan audit keuangan adalah tata kelola keuangan yang baik. Pemaknaan ‘baik’ pun dapat mengalami reduksi di sana sini.

‘Baik’ menurut auditor adalah sesuai dengan standar. ‘Baik’ menurut instansi bisa jadi adalah telah tertib dan bebas kesalahan administrasi. ‘Baik’ menurut masyarakat bisa jadi adalah tata kelola yang bersih dari penyimpangan.

Banyaknya pergeseran makna karena interpretasi yang berbeda ini lah yang kemudian melahirkan mitos. Sebuah kebenaran yang dianggap nyata, tetapi belum tentu dapat dibuktikan.

Opini jadi instrumen penguasa

Selama ini, mitos tersebut telah dipelihara dan dibiarkan sehingga maknanya tereduksi di sana sini. Seperti halnya pohon beringin, yang arti denotatifnya adalah pohon besar dan rindang, ia telah mengalami pergeseran makna menjadi pohon keramat yang menyimpan cerita mistis, atau sebagian mereduksi maknanya sebagai pohon yang penuh rahmat dan rezeki. Pergeseran makna ini tidak terlepas dari budaya setempat yang melingkupinya.

Demikian pula opini dari hasil audit keuangan. Pergeseran makna dari kesesuaian dengan standar menjadi gambaran tata kelola keuangan yang bersih dan bebas penyimpangan, lalu terjadi reduksi makna sebagai prestasi.

Saat prestasi menjadi makna baru bagi hasil audit keuangan, tak heran kemudian banyak instansi pemerintah yang berlomba meraihnya, bahkan terkadang menjadi komoditas yang diperjualbelikan. Pemaknaaan sebagai prestasi sangat erat kaitannya dengan budaya atau rezim aturan yang menyelimuti birokrasi di Indonesia, yaitu prestasi mematuhi aturan dan standar.

Reduksi makna ini bukan hanya bermain pada tataran ucapan dan komunikasi, tetapi telah masuk pada tataran praktik dan legitimasi. Di level pemegang otoritas pemerintahan, opini hasil audit telah dilegitimasi menjadi instrumen kekuasaan dengan pemberian penghargaan bagi instansi pemerintah yang berhasil meraih opini WTP.

Halaman:
Mutia Rizal
Mutia Rizal
PNS yang sedang menempuh program S3 Administrasi Publik UGM dan pegiat komunitas Birokrat Menulis
Editor: Yura Syahrul

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement