Arti Malam Satu Suro bagi Orang Jawa Beserta Sejarah dan Tradisinya
Dilansir dari laman resmi Kemendikbud RI, Satu Suro adalah awal bulan pertama Tahun Baru Jawa yakni bulan Suro. Penanggalan satu suro sendiri mengacu pada kalender Jawa.
Malam 1 Suro juga bertepatan dengan tanggal 1 Muharram. Malam 1 Suro diperingati pada malam hari setelah maghrib pada hari sebelum tanggal 1 Suro.
Hal itu dikarenakan dalam kalender Jawa, pergantian hari dimulai pada saat matahari terbenam dari hari sebelumnya, bukan pada tengah malam sebagaimana pergantian hari dalam kalender masehi.
Bagi masyarakat Jawa, perayaan 1 Suro merupakan malam yang sakral dan memiliki makna tersendiri. Lantas, apa arti malam satu suro bagi orang Jawa? Berikut informasi lengkapnya.
Sejarah Malam Satu Suro
Sejarah malam satu Suro berawal dari Sultan Agung yang menyebut Muharram dengan bulan Sura.
Dilansir dari buku Misteri Bulan Suro Perspektif Islam Jawa, tahun Hijriah dipakai sebagai sistem penanggalan Muslim Jawa, yang juga ditetapkan oleh Sultan Agung pada abad ke-17. Sistem penanggalan itu disebut penanggalan aboge.
Dalam praktiknya, sistem penanggalan itu terkadang berjarak 1 hari lebih lama. Hanya saja, angka tahunnya memakai angka tahun Jawa yang lebih muda 78 tahun daripada tahun Masehi.
Tahunnya tetap menggunakan tahun Saka, namun perhitungan harinya diubah menjadi sistem tarikh qomariyah.
Ini merupakan ijtihad penting yang dilakukan Sultan Agung dan menjadi simbol asimilasi budaya Islam dan budaya Jawa.
Arti Malam Satu Suro bagi Orang Jawa
Peringatan malam 1 Suro tidak terlepas dari budaya keraton. Dulu, keraton sering kali melakukan upacara dan ritual yang diwariskan secara turun temurun. Kerton Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta menganggap malam 1 Suro sebagai malam yang suci serta bulan yang penuh rahmat.
Melansir dari laman Tirto.id, ketika malam 1 Suro tiba, beberapa orang Jawa Islam percaya bahwa mendekatkan diri pada Tuhan menjadi salah satu cara membersihkan diri dan melawan nafsu duniawi. Oleh sebab itu, tidak jarang, mereka melakukan upacara individu, seperti tirakat, perenungan diri, atau lelaku.
Upacara tidak hanya dilakukan secara individu, tetapi juga dalam kelompok. Sebagai contoh kegiatan selamatan khusus yang dilakukan sepanjang satu minggu.
Tradisi Malam Satu Suro
Di Indonesia, tradisi malam satu Suro cukup beragam. Berikut di bawah ulasan beberapa tradisi untuk memperingati malam 1 Suro yang ada di Indonesia.
1. Tradisi Kirab
Di Solo , malam satu Suro diperingati dengan tradisi kirab, baik kirab pusaka dan kirab malam 1 Suro.
Tradisi ini diadakan dengan tujuan untuk meminta keselamatan dan sebagai sarana introspeksi agar menjadi lebih baik dari tahun sebelumnya. Dilansir dari laman Pemerintahan Kota Surakarta, kirab malam 1 Sura identik dengan kebo bule sebagai sarana kirab.
Kebo bule yang digunakan harus berasal dari keturunan kebo bule Kiai Slamet. Hewan ini adalah kesayangan Paku Buwono II, sejak beliau masih berkuasa di Keraton Kartasura.
Kebo bule merupakan hadiah dari Kiai Hasan Beshari Tegalsari Ponorogo kepada Paku Buwono II. Mulanya, kebo bule ini digunakan sebagai pengawal pusaka (cucuk lampah) bernama Kiai Slamet, saat beliau pulang dari Pondok Tegalsari ketika terjadi pemberontakan pecinan yang membakar Istana Kartasura.
Hingga saat ini, ritual tersebut masih dilaksanakan pada malam satu Suro, tepat pukul 00.00 WIB.
Selain Solo, Keraton Yogyakarta juga memiliki ritual malam satu Suro. Bedanya, kirab malam satu Suro di Keraton Yogyakarta membawa gunungan tumpeng, keris, dan benda pusaka lain.
2. Mubeng Benteng
Selain Solo, Keraton Yogyakarta juga memiliki ritual malam satu Suro. Salah satunya yaitu Mubeng Benteng
Tradisi atau ritual ini dilakukan sebagai bentuk tirakat atau pengendalian diri dan memohon keselamatan kepada Tuhan YME. Pada malam itu, mubeng benteng dilakukan dengan berjalan kaki mulai dari Keraton Yogyakarta, alun-alun utara, ke daerah barat (Kauman), ke selatan (Beteng Kulon), ke timur (Pojok Beteng Wetan), sampai ke utara lagi dan kembali ke Keraton
Ketika proses mubeng benteng, para abdi dalem keraton mengenakan pakaian khas Jawa dan tidak beralaskan kaki. Di belakangnya, masyarakat umum akan mengikuti arak-arakan tersebut. Mereka juga tidak memakai alas kaki.
Berjalan tanpa alas kaki memiliki makna untuk lebih mendekatkan diri dan penunjukkan rasa cinta kepada alam semesta. Selama perjalanan dilakukan, seluruh peserta baik dari abdi dalem keraton dan masyarakat umum sama-sama melafalkan tasbih di jari kanan dan memanjatkan doa kepada Tuhan.
3. Jamasan Pusaka atau Ngumbah Keris
Di malam 1 Suro, Keraton Yogyakarta juga melakukan prosesi jamasan pusaka atau siraman pusaka. Dalam upacara tersebut, pusaka-pusaka milik Keraton Yogyakarta akan dibersihkan atau dimandikan.
Pusaka-pusaka yang dibersihkan yaitu senjata, kereta, alat-alat berkuda, bendera, vegetasi, gamelan, serat-serat (manuskrip), dan lain-lain. Fungsi benda-benda tersebut pada zaman dahulu menjadi sorotan atau tolak ukur barang tersebut dapat dikategorikan sebagai pusaka.
Sementara itu, jamasan pusaka dilakukan untuk menghormati dan merawat seluruh pusaka yang dimiliki keraton. Namun, Keraton Yogyakarta mengungkapkan bahwa setidaknya ada dua aspek latar belakang pelaksanaan jamasan pusaka, yakni mengenai hal teknis dan spiritual.
Pada hal teknis, tradisi ini bertujuan untuk merawat benda-benda yang menjadi warisan dari orang-orang terdahulu. Adapun, aspek spiritual dari tradisi ini adalah sebagai penyambutan oleh masyarakat Jawa terhadap datangnya malam 1 Suro.