Kumpulan Dongeng Si Kancil yang Lucu dan Sarat Pesan Moral
Dongeng merupakan jenis cerita rakyat yang bersifat fiktif. Tidak semua dongeng diketahui pengarangnya, tulisan ini populer dari mulut ke mulut.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dongeng adalah cerita yang tidak benar-benar terjadi (terutama tentang kejadian zaman dulu yang aneh-aneh); perkataan (berita dan sebagainya) yang bukan-bukan atau tidak benar. Sementara pendongeng merupakan orang yang menceritakan atau suka mendongeng.
Patut diketahui bahwa dongeng terbagi menjadi beberapa jenis yang mengacu pada jenis karakter dan latarnya. Misalnya fabel yang mengangkat tokoh hewan, sementara juga ada legenda yang berkaitan dengan peristiwa sejarah.
Ciri-ciri Dongeng
Berikut ciri-ciri dongeng:
- Fiktif
- Singkat
- Anonim
- Alur cerita yang sederhana
- Sifat antar tokoh yang berlawanan
- Gaya bahasa komunikatif
- Menggunakan kalimat pembuka pada zaman dahulu, dikisahkan seorang …, alkisah seorang…
- Mengandung pesan moral.
Untuk mengidentifikasi lebih lanjut, Katadata.co.id menyertakan kumpulan dongeng Si Kancil dengan berbagai kisah. Selengkapnya, simak tulisan di bawah ini.
Kumpulan Dongeng Si Kancil
Berikut ini beberapa kumpulan dongeng mengenai Kancil yang lucu dan sarat akan pesan moral.
1. Kancil dan Harimau
Pada suatu hari si kancil bertemu dengan harimau ketika sedang bermain di pegunungan. Tanpa ragu, sang harimau mengira si kancil akan bisa menjadi makan siangnya yang lezat.
Namun, si Kancil rupanya telah melihat penampakan Harimau dan berpura-pura tenang sembari berkata, “Harimau, kamu sangat tampan. Kepala, wajah, tubuh, dan kaki kamu semuanya begitu sempurna dan tidak ada tandingannya di hutan ini. Sayangnya, ekormu sangat jelek sehingga tidak bisa mengimbangi kehebatanmu yang lain itu.”
Harimau termakan hasutan si kancil dan merasa ucapannya tadi benar, jadi dia bertanya kepada kancil, "Bagaimana aku bisa membuat ekorku menjadi indah?" Kancil kemudian melihat sekeliling ekor harimau, seolah-olah sedang memeriksanya, dan memberitahu sang harimau, "Kalau kamu bisa membuatnya lurus, ekormu pasti akan terlihat sangat indah."
“Jadi bagaimana cara aku bisa meluruskannya?” Tanya harimau.
“Hmm, sebenarnya tidak terlalu sulit. Saya hanya tidak yakin apakah kamu akan berani melakukannya atau tidak,”
“Tidak ada yang aku takutkan,” kata sang harimau yang berencana ingin meluruskan ekornya terlebih dahulu sebelum ia memakan si kancil. Lalu, dia mendesak kancil, “Cepat! Bantu aku meluruskan ekorku!”
Kancil mengumpulkan sembilan ikat jarum pinus dengan cepat, lalu mengikat ekor harimau ke pohon sambil membakar jarum pinus tadi. Harimau merasa kepanasan karena harus menahan api. Walhasil, rambut di sekujur tubuhnya malah terbakar habis. Harimau pun marah, “Kamu benar-benar Kancil yang bodoh! Ekorku memang terlihat lurus, tetapi kamu telah membakar pakaianku. Aku tidak akan memaafkanmu!"
Alih-alih ketakutan, si kancil dengan tenang menjawab, "Jangan khawatir. Aku akan memberimu yang baru,"
“Kau telah membodohi aku,” lanjut harimau.
"Aku serius. Namun, kamu sebaiknya mencuci tubuh kamu sampai bersih sebelum kamu mengenakan pakaian baru,”
"Di mana letak airnya?"
"Di sana," harimau yang sudah terbakar dan terluka parah merasa tidak sabar untuk mengikuti kancil menemukan air.
Namun, malang bagi harimau, si kancil malah menggiringnya ke area di mana para buaya yang sedang lapar telah menunggu. Para buaya ini langsung menerkam harimau yang kini tidak memiliki rambut dan telah terluka parah.
Harimau mempercayai kata-kata dari kancil dan menjatuhkan martabat dan kedudukannya sendiri. Akibat keputusannya yang salah, tidak hanya ia gagal mendapatkan Kancil sebagai makan siangnya, tetapi juga telah harus menutup riwayat kehidupannya dengan cara yang malang.
2. Kancil dan Siput
Pada suatu hari yang cerah, Kancil sedang berjalan dengan santai di pinggir sungai. Disana ia bertemu dengan Siput yang merangkak dengan lambat. Kancil lalu datang menghampiri Siput dengan langkah yang angkuh.
"Hai Siput," kata Kancil dengan sombong. "Apakah kamu berani adu cepat denganku?"
Mendengar pertanyaan itu, Siput tentu saja terkejut. Ia merasa diejek oleh Kancil. Walaupun begitu, Siput menerima ajakan Kancil.
"Baiklah, Kancil," kata Siput yang menerima ajakan Kancil. "Aku terima ajakanmu. Tapi jangan malu ya, kalau nanti justru kamu yang sendiri yang kalah."
"Hahahaha," seketika Kancil tertawa mendengar ucapan Siput. "Mana mungkin kamu bisa mengalahkan aku, Siput? Kamu adalah hewan merangkak yang sangat lambat."
Mendengar hal itu, bukannya membatalkan ajakan Kancil, Siput justru makin menantang Kancil. "Baik, tentukan saja kapan kita akan berlomba!"
"Hari Minggu besok, di sini," kata Kancil. "Pasti akan ada yang melihatku memenangkan lomba. Catat itu." Kancil lalu bergegas pergi dengan tertawa.
Sambil menunggu hari perlombaan, Siput mengatur taktik agar Kancil bisa merasakan rasa angkuh dan sombongnya dengan kekalahan. Ia segera mengumpulkan semua siput yang ada di sekitar sungai. Mereka semua tentu saja ingin Kancil kalah.
"Hai teman-temanku, tentu saja kita berkumpul disini untuk membicarakan perlombaan dengan Kancil," kata Siput yang akan berlomba.
"Tapi bagaimana caranya? Kita memang sudah pasti kalah, karena kita merangkak dengan lambat," kata siput yang lain.
"Kita harus membagi tugas," kata Siput. "Kalian harus berpencar di setiap rerumputan di pinggir sungai, sampai garis finish. Nanti kalau dipanggil Kancil, kalian harus jawab."
"Ide yang cerdas! Kita akan menang!"
Akhirnya datang hari perlombaan. Semua siput sudah siap di posisinya masing-masing. Penonton bersorak sorai. Ada yang mendukung kancil, ada juga yang mendukung siput. Hingga bendera diangkat, tanda lomba dimulai.
Begitu lomba dimulai, Kancil berlari dengan sangat kencang. Semua tenaga ia kerahkan agar bisa memenangkan perlombaan itu. Tapi setelah berlari sekian kilometer, napasnya mulai terengah-engah dan memutuskan untuk beristirahat di bawah pohon.
Namun ketika ia baru saja akan duduk, ia melihat Siput berjalan.
"Siput!" kata Kancil.
"Ya, aku di sini, Kancil," kata Siput yang berjalan di depan Kancil.
Kancil lalu berlari kencang meninggalkan siput itu. Dia mulai kehabisan tenaga ketika sampai di pohon besar yang rindang. Kancil kembali duduk untuk beristirahat. Tapi Siput datang melewatinya.
"Siput!" kata Kancil.
"Ya, aku di sini, Kancil," begitu seterusnya yang terjadi. Hingga Kancil kelelahan dan Siput memenangkan perlombaan.
Di garis finis, Kancil mengakui kekalahannya. Sementara, Siput yang memenangkan perlombaan hanya tersenyum tipis. Siput tidak merayakan kemenangan dengan berlebihan.
3. Kancil dan Pak Tani
“Kruukk…krruuk,” Kancil mengelus perutnya yang dari tadi mengeluh lapar, dan tenggorokannya pun sangat kering. Hari amatlah panas. Kancil berjalan sendirian. Tadi dia memang bersama teman-temannya meninggalkan hutan kecil tempat tinggal mereka yang terbakar. Sekarang, teman-temannya sudah meninggalkannya.
Kancil duduk bersandar karena matanya berkunang-kunang. Tiba-tiba ia melihat hamparan hijau. Ya, itu adalah ladang Pak Tani, yang menanami ladangnya dengan ketimun. Air liur Kancil menetes.
“Ah, aku akan memakan timun Pak Tani,” kata Kancil. “Kalau cuma makan sedikit pasti tidak apa-apa.”
Kancil menyusup lewat celah pagar ladang Pak Tani dan mengunyah sebuah ketimun. “Krrss, hmmm, segar sekali.”
“Satu lagi, ah. Lalu aku akan menyusul teman-teman.” Kancil memetik satu lagi, memakannya. Satu lagi, satu lagi, sampai ia kekenyangan dan tertidur. Kancil terkejut karena hari sudah sore. Ia segera meninggalkan ladang itu.
Saat tiba di ladang, Pak Tani kaget melihat ketimunnya banyak yang hilang, hanya tersisa sampah ujung ketimun.. “Aduh, bagaimana ini,” keluh Pak Tani. “Aku tidak jadi panen. Siapa yang berani mengambilnya, ya?”
Bu Tani berkata, “Kita takut-takuti dia dengan orang-orangan, Pak. Siapa tahu, dia tidak berani datang lagi.”
“Ide bagus, Bu. Ayo, kita buat sekarang.”
Mereka membuat orang-orangan dari jerami dan menggunakan baju bekas dan caping Pak Tani.
Esok harinya, Si Kancil memasuki ladang itu lagi.
“Apa? Pak Tani berjaga di ladangnya?” serunya terkejut.
Ia menunggu sampai Pak Tani pergi, namun kelihatannya Pak Tani betah berjaga di sana. Tapi, mengapa Pak Tani diam dan melotot terus seperti itu, ya? Kancil memberanikan diri untuk memasuki ladang dan Pak Tani tidak mengusirnya. Akhirnya Kancil mengerti, bahwa itu hanya orang-orangan yang dibuat seperti Pak Tani.
“Ayo, makan bersamaku, Pak Tani!” ajaknya dan mengambil caping orang-orangan itu. Ia makan sampai kenyang sambil nyender ke tubuh orang-orangan itu. Setelah kenyang, Kancil segera pergi.
Sorenya, Pak Tani terkejut karena ketimunnya tetap hilang. “Ulah siapa, sih, ini?” katanya geram.
“Sepertinya pencurinya sudah tahu jika ini orang-orangan dan bukan bapak,” kata Bu Tani. “Bagaimana jika kita melumuri orang-orangan ini dengan getah, sehingga akan membuat lengket pencurinya?”
Lalu mereka melumuri tubuh orang-orangan itu dengan getah buah Nangka.
Esoknya, Kancil datang lagi. “Wah, Pak Tani, kamu masih disitu,” katanya lalu mulai memetik ketimun dan mulai memakannya sambil menyenderkan tubuhnya. Selesai makan, ia berniat pergi. Tapi, oh-oh, badannya lengket menempel ke orang-orangan itu!
Tiba-tiba datanglah Pak Tani. Kancil tidak berkutik, dia harus siap-siap dihukum.
“Oooh, rupanya kamu yang memakan hasil jerih payahku?” Pak Tani berkacak pinggang.
“Ampun, Pak Tani, maafkan aku. Hutan kecil kami terbakar beberapa hari lalu.” Kancil memohon.
“Ya, tapi, tetap saja mencuri itu tidak baik. Enaknya, saya kasih kamu hukuman apa, ya?” Pak Tani tetap kesal.
“Bagaimana jika kita hukum dia membereskan ladang selama seminggu dan menanami bibit ketimun lagi, Pak?” usul Bu Tani.
Kancil pun menerima hukuman itu. Ia tahu bahwa memang dia bersalah. Dia bekerja dengan rajin dan berharap Pak Tani sungguh-sungguh memaafkannya. Akhirnya, hari terakhir hukuman si Kancil tiba.
“Terimakasih sudah bekerja dengan rajin, Kancil. Jangan mencuri lagi, karena perbuatan itu merugikan orang lain. Lebih baik kamu berusaha dengan jerih payahmu sendiri. Ini bekal ketimun untukmu di hutan nanti,” Kata Pak Tani sambil menyerahkan sekarung ketimun.
“Aku meminta maaf sekali lagi atas kesalahanku, Pak Tani. Terima kasih tidak menghukumku lebih berat. Aku berjanji tidak mencuri lagi.” Kancil berkata penuh penyesalan.
Kancil kembali ke hutan. Ketimun pemberian itu selain dia makan tapi juga juga menyisihkan sebagian untuk ditanam di kebunnya sendiri, supaya dia juga bisa panen timun.
4. Kancil dan Buaya
Suatu hari di sebuah hutan rimba, hiduplah seekor kancil yang cerdik. Si kancil sangat suka berjalan-jalan di hutan untuk mencari makanan. Tetapi, karena musim kemarau yang panjang, Si Kancil terpaksa pergi ke kawasan lain untuk mencari makanan. Ia harus melewati banyak rintangan untuk sampai di kawasan tersebut. Salah satu rintangannya adalah sebuah sungai.
Air di sungai itu memang tidak terlalu deras, tetapi ada kawanan buaya menakutkan yang tinggal di dalamnya. Kancil merasa takut, tapi ia tetap harus mencari makanan secepatnya. Ia berpikir sejenak dan langsung mendekat ke sungai penuh buaya itu.
“Halo raja buaya, apakah kau sudah makan?” tanya kancil dengan suara lantang.
“Siapa kau berani berteriak di siang bolong begini! Mengganggu tidur siangku saja!”
“Hei kancil licik, kau lebih baik diam! Kalau tidak, aku akan memakanmu sekarang juga!” sahut buaya lainnya.
“Hei hei jangan marah dulu, aku hanya ingin menyampaikan pesan dari raja hutan,” tegas si Kancil.
“Ada apa ini sebenarnya? Cepat katakan!” kata buaya.
“Simba menyuruhku menghitung kalian. Tampaknya, ia hendak memberikan hadiah untuk kalian, jadi cepat panggil semua temanmu,” kata si Kancil.
Semua buaya tentu sangat senang mendengar kabar gembira dari Si Kancil. Seluruh buaya dengan cepat berbaris berjajar di permukaan sungai tanpa sadar bahwa ternyata si Kancil berniat membohongi mereka.
Si kancil mulai melompati buaya satu persatu sambil pura-pura menghitung jumlah mereka. Setelah sampai di penghujung sungai, Si Kancil langsung pergi meninggalkan buaya-buaya yang kebingungan.
5. Kancil dan Jerapah
“Awas, minggir!” terdengar suara si Jerapah, mengusir tiga binatang – Kambing, Keledai, dan Domba, yang sedang minum di pinggir sungai “Kalian ini mengganggu hakku.”
Domba berbisik, “Memangnya, sungai ini milik dia sendiri?”
“Ssst, nanti kamu ditendang lagi seperti waktu itu,” kata Kambing dan Keledai memenangkan.
“Aah, aku ini memang ganteng. Badanku keren, leherku jenjang, kukuku rapi, buluku halus,” kata Jerapah memandangi pantulan dirinya di air sungai yang jernih “Wajahku, apalagi, selalu bersih bersinar.” Lalu mencela tiga ekor binatang yang sedang menunduk. “Memangnya kalian? Lihat, deh, sudah tidak tinggi ditambah badan kalian kotor… issh! Apa sih kelebihan kalian?”
“Padahal aku haus,” bisik Kambing gelisah setelah menunggu sekian lama dan Jerapah belum selesai minum.
Ini sudah ke sekian kalinya Jerapah bertindak semena-mena kepada mereka bertiga. Dia pernah menendang dan menghina si Domba saat Domba menegurnya karena si Jerapah menggosokkan kukunya di tumpukan bulu domba. Domba mulanya akan memberikan bulu itu untuk alas tidur beberapa anak kucing hutan yang baru lahir. Bulu-bulu domba itu menjadi kotor dan Domba batal memberikannya. Jerapah juga memakan rerumputan yang dikumpulkan si Keledai tanpa izinnya lalu pergi meninggalkan tempat Keledai dalam keadaan berantakan. Jerapah juga pernah dengan sengaja menendang ember-ember berisi susu milik si Kambing.
“Dia selalu menghina dan semena-mena terhadap kita,” bisik Keledai.
Datanglah seekor Kancil. Tanpa izin, dia mendekat lalu menyeruput air sungai, “Aaaah, segar sekali.”
“Hey, apa yang kamu lakukan? Ini sungaiku. Tidak boleh ada yang minum saat aku minum,” Jerapah berkata dengan sewot.
“Hah? Siapa bilang?” sanggah Kancil. “Sungai ini ada di hutan, dan aku tidak melihat papan tulisan jika sungai ini milikmu, jadi semestinya semua boleh minum.”
“Kamu binatang kecil, jelek, kotor yang menjengkelkan!” seru Jerapah. “Aku bisa menendangmu, atau menaruhmu di dahan pohon yang tinggi dengan kepalaku.”
“Ya, kamu memang tinggi, tapi aku tidak yakin jika kamu bisa berlari cepat untuk menangkapku.”
“Jangan menantang, kau akan menyesal, Kancil!” Jerapah berteriak marah.
“Ayo, buktikan. Kejar aku sekarang,” kata Kancil. Jerapah berjalan mendekati dan Kancil mulai berlari.
Kancil berlari sangat kencang, melewati batu-batu, pohon, ilalang, dengan zigzag. Meskipun kakinya sangat panjang, namun Jerapah agak kesulitan mengejar Kancil. Lehernya yang tinggi membuat dia kesulitan melihat ke bawah sehingga ia sering tersandung. Kadang lehernya juga tersangkut dahan tinggi. Ia juga sulit berlari zig zag, karena setiap belokan dia kesulitan berlari.
Kancil sampai ke sebuah gua, lalu masuk ke dalam. Jerapah menyusulnya. Semakin dalam, semakin gelap dan sempit. Batuan Stalaktit di atap gua menusuk-nusuk wajah dan kepala Jerapah.
“Aduuuh, kepalaku!” jerit Jerapah. Ia berhenti masuk gua, “Tolong, aku kesakitan”.
Kancil pun berhenti. Ia berbalik mencari si Jerapah.
“Aduh, kau menginjak badanku.” seru Jerapah, karena dia terbaring sementara kepalanya berdarah
“Maafkan aku. Disini gelap sekali,” kata Kancil. “Ayo, aku tolong kau untuk berdiri, dan menuju ke cahaya itu.”
Cahaya kecil itu adalah tempat mereka masuk ke gua. Kancil memapah Jerapah keluar dari gua. Ternyata di luar, sudah ada Domba, Keledai, dan Babi menunggu.
“Teman kalian ini perlu pertolongan pertama, adakah yang bisa?”
“Aku bisa,” kata Keledai.
“Aku akan mengambilkan air untuk membersihkan luka-lukanya,” kata Kambing.
“Dan aku akan mengambilkan bulu domba untuk menutup lukamu dan alat P3K,” kata Domba.
“Kenapa kalian baik sekali?” tanya Jerapah dibalik derai air matanya dan wajahnya yang mengeluarkan darah. “Padahal aku sombong dan semena-mena kepada kalian.”
“Ya, memang kamu sombong terhadap kami,” kata Keledai, “Tapi dalam keadaan luka begini dan kamu membutuhkan pertolongan, tidak mungkin kami tinggalkan jika kami bisa menolongmu.”
“Jika dirimu tinggi, kamu bisa mengambil sesuatu dari tempat lebih tinggi, sementara jika kamu pendek, kamu bisa mudah melihat hambatan di bawah. Setiap makhluk memiliki kelebihan dan kekurangan, jadi kita harus saling bekerja sama, bukan malah menghina,” kata Kancil. “Nah, kamu sudah di tangah yang tepat, Jerapah. Aku pamit pergi dulu, ya.”
“Aku minta maaf atas kesombonganku, ya.” kata Jerapah. “Mulai sekarang, mari kita berteman.” Domba, Keledai, dan Kambing tersenyum mengiyakan.
Itulah sejumlah dongeng Si Kancil yang bisa dibacakan sebagai pengantar tidur Buah Hati di rumah. Meski menyajikan hewan sebagai karakter, dongeng tersebut tidak luput dari makna yang bisa dijadikan pelajaran hidup.