Industri Penerbangan Butuh Insentif untuk Terhindar dari Kebangkrutan
Pelaku usaha jasa penerbangan menilai kebijakan pelonggaran kapasitas selama masa tatanan normal baru tidak cukup untuk memulihkan industri penerbangan.
Sekretaris Jenderal Indonesia National Air Carriers Indonesia (INACA) Bayu Sutanto mengungkapkan, diperbolehkannya maskapai penerbangan meningkatkan kapasitas penumpang belum cukup untuk mengangkat kinerja. Pasalnya, penumpang yang memanfaatkan transportasi udara masih sedikit.
"Pesawat diperbolehkan terbang tapi protokol ketat sehingga penumpang menjadi sedikit dan pendapatan sedikit," kata Bayu, kepada Katadata.co.id, Kamis (9/7).
Menurutnya, industri penerbangan membutuhkan insentif lain untuk menyelamatkan keuangan perusahaan, seperti biaya parkir pesawat. Saat ini, pihaknya tengah mengajukan insentif tersebut kepada sejumlah menteri terkait, antara lain Menteri Perhubungan hingga Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Namun, hingga saat ini INACA belum mendapatkan respons dari pemerintah terkait insentif-insentif yang dibutuhkan. Alhasil, yang bisa dilakukan oleh maskapai penerbangan adalah, mengangsur biaya parkir pesawat.
Selain keringanan terkait biaya-biaya operasional, INACA juga meminta adanya insentif berupa keringanan pembiayaan untuk maskapai penerbangan. Tujuannya, untuk mendukung biaya operasional di tengah pandemi virus corona atau Covid-19.
(Baca: Kondisi Keuangan Belum Pulih, Lion Air PHK 2.600 Karyawan)
Di sisi lain, asosiasi juga meminta pemerintah menyesuaikan aturan yang dianggap sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini, seperti tarif batas atas (TBA).
Meski demikian, permasalahan utama adalah masih khawatirnya masyarakat atas kemanan penerbangan di tengah pandemi corona. Bayu menilai, masyarakat enggan bepergian bila penularan Covid-19 belum bisa ditekan.
Kekhawatiran masyarakat pun berpotensi meningkat, seiring dengan informasi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yang menyebutkan covid-19 dapat menyebar melalui udara. Oleh karena itu, ia berharap vaksin covid-19 segera ditemukan.
"Sambil menunggu vaksin, maskapai mencoba bertahan atau kalau tidak kuat, ya berhenti. Perkiraan terbaik saya, tingkat okupansi pesawat hanya mencapai 30% hingga akhir tahun" ujarnya.
Pengamat penerbangan dari Indonesia Aviation Center Arista Atmadjati menilai, dukungan pemerintah terhadap industri penerbangan belum begitu besar. Sebab, masih banyak insentif yang seharusnya bisa diberikan kepada industri ini. Contohnya, relaksasi pajak impor suku cadang atau spare part pesawat.
(Baca: Kehilangan Empat Momentum Peak Season, Pendapatan Garuda Anjlok 90%)
"Lalu diskon pembayaran navigasi, parking fee landing, sampai hari ini tidak ada diskon," kata Arista.
Industri penerbangan memang tengah terpuruk, karena pandemi corona menyebabkan terjadinya penurunan drastis penumpang. Di saat yang bersamaan, biaya operasional tetap tinggi, sehingga berbagai langkah efisiensi dilakukan perusahaan.
Garuda Indonesia misalnya, telah mengambil kebijakan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 180 pilot, demi menjaga kesehatan keuangan.
Maskapai penerbangan lainnya, Lion Air Group, juga melakukan langkah serupa. Tercatat sebanyak 2.600 karyawan Lion Air Group tidak diperpanjang kontraknya.
"Langkah efisiensi dijalankan untuk mempertahankan kelangsungan bisnis. Langkah ini diikuti oleh perampingan operasional, mengurangi pengeluaran, dan merestrukturisasi organisasi," kata Corporate Communications Strategic Lion Air Group Danang Mandala Prihantoro, dalam siaran pers, Kamis (2/7).
(Baca: INACA Ramal PHK Maskapai Penerbangan Akan Terjadi pada September)