Dorong Kemandirian Farmasi, Kemenperin Bangun Fasilitas Fitofarmaka
Pemerintah bertekad memacu transformasi industri farmasi di dalam negeri, dari bergantung pada bahan baku obat dan obat impor menjadi mandiri memperkuat resiliensi sektor industri kesehatan.
Hal ini didasari oleh kesulitan memberikan pelayanan farmasi bagi masyarakat di kala Pandemi Covid-19. Sementara itu, Indonesia memiliki sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dapat dioptimalkan untuk mengembangkan industri farmasi dan alat kesehatan yang kuat.
Industri farmasi juga merupakan salah satu sektor prioritas pengembangan dalam peta jalan Making Indonesia 4.0. Salah satu upaya transformasi di sektor farmasi adalah pengembangan obat melalui pengolahan bahan-bahan baku alam atau dikenal dengan fitofarmaka.
"Seperti disampaikan Presiden pada Sidang Tahunan MPR 16 Agustus lalu, hilirisasi dan industrialisasi adalah kunci. Indonesia memiliki kekuatan dan kemampuan mengembangkan obat melalui pengolahan fitofarmaka dengan kekayaan biodiversitas yang mencapai lebih dari 2.800 spesies tanaman obat," kata Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita dalam keterangan resmi, dikutip Sabtu (20/8).
Untuk mendorong kemandirian industri farmasi dalam negeri, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) membangun fasilitas fitofarmaka di Balai Besar Standardisasi dan Pelayanan Jasa Industri (BSPJI) Kimia, Farmasi, dan Kemasandi Jakarta.
Fasilitas yang dibangun melalui pendanaan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) ini, diberi nama "House of Wellness". Tujuan pembangunan fasilitas ini, bertujuan untuk menjadi sarana penumbuhan industri ekstrak, obat herbal terstandar, dan khususnya fitofarmaka.
Menperin menjelaskan, keberadaan House of Wellness akan memberikan pelayanan kepada industri dalam mengembangkan produk fitofarmaka dan mewujudkan indonesia sebagai negara mandiri dalam industri kesehatan, baik dari sisi obat-obatan maupun alat kesehatan.
Fasilitas tersebut akan mengolah bahan baku alam menjadi simplisia, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka yang memenuhi standar Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB).
Ia berharap, agar fasilitas ini dapat bermanfaat secara optimal sehingga mampu berkontribusi terhadap penguatan ketahanan kesehatan melalui peningkatan kemandirian obat nasional.
"Di samping itu, kami akan menjadikan BSPJI Kimia, Farmasi, dan Kemasan sebagai pusat kolaborasi seluruh stakeholder industri obat berbahan baku alam," ujar Menperin.
Kepala Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri (BSKJI) Kemenperin Doddy Rahadi menambahkan, pembangunan House of Wellness saat ini telah sampai di tahap struktur, dan akan segera memasuki tahapan pekerjaan selanjutnya.
Tergetnya, fasilitas ini akan selesai dibangun dan mulai memproduksi ekstrak bahan alam pada 2024 dan ditargetkan mampu memproduksi fitofarmaka pada 2027.
"House of Wellness ini menempati lahan seluas 3000 meter persegi (m2) dengan fasilitas meliputi laboratorium quality control (QC), laboratorium pengembangan produk, dan laboratorium pengujian bahan alam yang terakreditasi ISO 17025,” kata Doddy.
Selain untuk produksi fitofarmaka, fasilitas ini juga akan dikembangkan sebagai pusat pengembangan dan otentifikasi minyak atsiri, yang akan dipadukan dengan teknologi 4.0 dan masuk ke dalam ekosistem SINDI 4.0.
Ia menyampaikan, kehadiran House of Wellness merupakan sarana bagi Kemenperin untuk membangun berbagai kerja sama dengan melibatkan unsur akademisi, bisnis, pemerintah, komunitas, dan inovator melalui konsep kemitraan yang akuntabel dan partisipatif.
Fasilitas ini, ia sebut juga merupakan dukungan kepada konstruksi sistem kesehatan nasional dengan tetap berpedoman pada nilai-nilai kemajuan dan kearifan lokal bangsa Indonesia.
Menurut Menperin, pembangunan House of Wellness ini merupakan bagian dari upaya hilirisasi dan industrialisasi untuk mengurangi ketergantungan terhadap obat dan bahan baku obat impor.
Ini dimaksudkan untuk mendorong kemandirian obat nasional bagi rakyat yang mudah didapat, terjangkau, selalu tersedia di manapun, dan berkesinambungan. Upaya ini juga untuk mengoptimalkan pasar domestik dan pasar internasional yang potensial dari produk herbal atau obat berbahan alam.
Di tingkat global, organisasi kesehatan dunia (World Health Organization/WHO) memprediksi permintaan dunia untuk produk-produk tersebut akan terus meningkat hingga mencapai US$ 5 Triliun pada 2050. Sedangkan nilai konsumsi obat berbahan alam oleh masyarakat Indonesia diperkirakan mencapai Rp2 3 Triliun pada 2025.
Tahun ini, pemerintah telah menetapkan "Formularium Fitofarmaka" yang mengakomodasi sekaligus menjadi acuan penggunaan produk-produk fitofarmaka dalam pelayanan kesehatan masyarakat.
"Dengan mengakomodasi fitofarmaka sebagai bagian dari sarana pelayanan kesehatan masyarakat, diharapkan penyerapan produk-produk fitofarmaka dapat semakin meningkat, sejalan dengan upaya mendorong Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) melalui pengadaan barang yang bersumber dari APBN/APBD," kata Menperin.