Sejarah Pajak Konsumsi di Indonesia, dari PPb hingga PPN

Image title
29 Januari 2024, 20:10
PPN
Majalah Pajak
PPN
Button AI Summarize

Tahun 2024 akan menjadi tahun terakhir pemberlakuan tarif Pajak Pertambahan Nilai atau PPN sebesar 11%, karena mulai tahun depan tarifnya akan naik menjadi 12%. Kenaikan tarif ini telah diatur dalam Pasal 7 Ayat (1) huruf b UU PPN sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan UU Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau UU HPP.

Namun, kenaikan tarif bisa saja ditunda bila ada intervensi dari pemerintah. Perihal penundaan ini, diatur dalam Pasal 7 Ayat (3) UU PPN, yang menyebutkan tarif dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi sebesar 15%.

"Berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan, tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%," bunyi ayat penjelas Pasal 7 ayat (3) UU PPN.

Seperti diketahui, PPN merupakan pungutan yang dikenakan ada setiap transaksi jual beli barang dan jasa di wilayah Indonesia. Pemungutannya dikenakan pada wajib pajak orang pribadi, badan usaha dan pemerintah. Ini merupakan jenis pajak tidak langsung, serta bersifat objektif dan non kumulatif.

Artinya, pajak tidak dibayarkan oleh pelaku usaha yang memproduksi barang/jasa, melainkan oleh konsumen yang menggunakan atau mengkonsumsi barang/jasa. Dasar hukum yang digunakan untuk memungut pajak ini adalah Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

Sejarah Pajak Konsumsi Barang dan Jasa di Indonesia

PPN
PPN (Pajak.com)

Sistem PPN dalam perpajakan Indonesia tidak muncul begitu saja. Penerapan pungutan atas konsumsi barang/jasa di Indonesia sebelumnya telah melalui beberapa perubahan, hingga menganut sistem yang saat ini diterapkan.

Berikut ini, merupakan paparan singkat perjalanan jenis-jenis pajak yang berlaku atas konsumsi barang/jasa di Indonesia, hingga kemunculan PPN.

1. Pajak Pembangunan I

Jauh sebelum penerapan PPN, Indonesia menerapkan Pajak Pembangunan I atau PPb I yang ditetapkan melalui Undang-undang (UU) Nomor 14 Tahun 1947 tentang Pemungutan Pajak Pembangunan di Rumah Makan dan Rumah Penginapan. Pajak ini berlaku resmi mulai 1 Juni 1947. Besaran tarif pajak yang dibebankan adalah sebesar 10% dari jumlah pembayaran.

Sama seperti PPN, PPb I menerapkan sistem self assessment, di mana wajib pajak memungut, menyetor, dan melaporkan pajak. Saat itu, penerapannya menggunakan prinsip contante storting system atau sistem setor tunai. Seiring berjalannya waktu, PPb I juga melalui serangkaian perubahan, melalui penerbitan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1948 (UU PPb I Tahun 1948), dengan penambahan pasal terkait penagihan pajak.

Kemudian, PPb I juga mengalami perubahan bentuk, yang sebelumnya merupakan pajak pusat menjadi pajak daerah. Ini ditandai dengan penerbitan UU Nomor 32 Tahun 1956. Melalui UU ini, PPb I dapat dipungut daerah apabila daerah tersebut telah siap memungutnya. Dalam pelaksanaannya, tarif PPb I tiap daerah bisa berbeda-beda, pun demikian dengan objeknya. Misalnya, di Jakarta tarif dikenakan sebesar 5% yang penerapannya diperluas tak hanya di rumah makan, melainkan juga untuk jasa katering.

Meski sifatnya terbatas, PPb I boleh dikatakan menjadi tonggak awal PPN yang merupakan pungutan atas konsumsi barang dan jasa yang dilakukan di wilayah Indonesia.

2. Pajak Peredaran 1950

Selain PPb I, Indonesia juga menerapkan Pajak Peredaran atau PPe, yang ditetapkan melalui UU Darurat Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pajak Peredaran, yang diumumkan pada 18 Maret 1950. Oleh karena itu, dalam pajak ini kerap disebut sebagai PPe 1950.

Sifat PPe 1950 ini kurang lebih sama dengan PPb I. Pembedanya adalah, PPe 1950 merupakan pungutan pajak atas pemakaian barang umum, dan dikenakan pada penyerahan barang-barang yang ada di peredaran bebas. Saat itu, pemerintah menerapkan tarif untuk PPe sebesar 2% atas setiap penyerahan barang. Pajak ini juga dikenakan atas jasa, dengan sistem penggantian, yakni nilai yang harus dilunasi kepada orang yang memberikan jasa.

Pemungutan PPe 1950 dilakukan dengan dua cara. Pertama, pemungutan sekaligus, di mana  hanya dikenakan sekali saja atas hasil akhir. Pemungutan dapat dilakukan pada awal lajur produksi, maupun pada mata rantai berikutnya. Kedua, menggunakan sistem pemungutan bertingkat. Artinya, pajak dipungut setiap kali ada pemindahan barang-barang ke tingkat berikutnya. Pada setiap penyerahan barang, tidak ada penyesuaian atau pengurangan.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...