Multifinance Harap Kemudahan Pendanaan & Insentif Demi Pacu Pembiayaan

Image title
27 Agustus 2020, 14:07
Ilustrasi, uang rupiah. Perusahaan pembiayaan atau multifinance berharap adanya kemudahan pendanaan serta insentif dari pemerintah untuk bertahan, serta memacu pembiayaan di tengah pandemi corona.
Donang Wahyu|KATADATA
Ilustrasi, uang rupiah. Perusahaan pembiayaan atau multifinance berharap adanya kemudahan pendanaan serta insentif dari pemerintah untuk bertahan, serta memacu pembiayaan di tengah pandemi corona.

Sektor multifinance atau pembiayaan menjadi salah satu usaha yang terkena pukulan telak pandemi virus corona atau Covid-19, karena adanya wabah membuat permintaan turun drastis. Oleh karena itu, diperlukan insentif dari pemerintah dan perbankan agar multifinance mampu memacu kinerja dengan kepastian pendanaan atau working capital.

Komisaris Independen PT Smart Multi Finance Jodjana Jody mengatakan saat ini industri multifinance mendapat tantangan besar dari sisi likuiditas. Pasalnya, di tengah pandemi corona tidak ada pembiayaan baru, sementara pembayaran dari konsumen eksisting tersendat dan bahkan harus direstrukturisasi.

"Restrukturisasi secara industri kurang lebih sudah mencapai 30% dari total konsumen, namun di saat yang sama perusahaan multifinance masih harus membayar kewajiban yang besar kepada bank," kata Jodjana dalam sebuah forum diskusi virtual, Kamis (27/8).

Multifinance pun menurutnya kesulitan mendapatkan working capital, terutama dari dalam negeri karena perbankan saat ini cukup ketat seleksinya. Secara umum, hampir sebanyak 51% pendanaan untuk multifinance berasal dari dalam negeri yakni dari perbankan.

Kesulitan mendapatkan pendanaan ini umumnya dialami oleh perusahaan multifinance skala kecil dengan aset di bawah Rp  1 triliun atau Rp 1 triliun-Rp 5 triliun. Sementara bagi perusahaan multifinance skala besar, sumber pendanaan tidak terbatas di dalam negeri karena ada offshore loan dan penerbitan global bond.

Perusahaan multifinance memang bisa mengajukan restrukturisasi pinjaman ke perbankan untuk mengurangi bebannya, namun menurut Jodjana hal ini pun tidak mudah. Sebab ada kekhawatiran di beberapa perusahaan multifinance, jika usai restrukturisasi bakal sulit mendapatkan pendanaan dari bank.

"Akibatnya saat ini banyak multifinance yang mencoba bertahan dengan mengandalkan collection eksisting, dengan laju pembiayaan baru masih tersendat," ujarnya.

Oleh karena itu, ia mengharapkan perbankan aktif melakukan restrukturisasi untuk multifinance agar masalah likuiditas bisa ditekan dan perusahaan pembiayaan dapat fokus mengejar konsumen baru di tengah pandemi.

Selain itu, ia pun mengharapkan adanya dukungan dari pemerintah berupa insentif tambahan kepada konsumen, terutama otomotif lewat pemangkasan pajak. Cara ini sudah ditempuh negara lain seperti Thailand, sehingga penurunan sektor otomotifnya bisa ditekan menjadi hanya 30% sementara Indonesia turun hingga 55%.

"Kami melalui Gaikindo mengusulkan kepada pemerintah agar untuk pembelian mobil baru nantinya konsumen bisa mendapatkan diskon pajak. Dengan cara ini harapannya permintaan mobil bisa naik, diiringi dengan kenaikan penyaluran pembiayaan," kata Jodjana.

Sementara, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno mengharapkan kepercayaan perbankan kepada multifinance bisa kembali pulih. Sehingga multifinance bisa lebih mudah mendapatkan pendanaan dari perbankan.

Sebenarnya ketatnya pendanaan dari perbankan untuk industri multifinance sudah berlangsung sejak 2015, di mana saat itu terungkap beberapa perusahaan pembiayaan melakukan praktik penjaminan ganda atau double pledging. Kemudian ada pula perusahaan multifinance yang memiliki jaminan fiktif dan penggunaan dana yang tidak sesuai di dalam kontrak (side streaming).

"Hal ini jelas menurunkan kepercayaan perbankan pada industri multifinance. Oleh karena itu APPI sekuat tenaga berupaya untuk memulihkan kepercayaan tersebut," kata Suwandi.

Salah satu caranya adalah mewajibkan seluruh perusahaan multifinance masuk dalam asset registry yang merupakan pusat data aset berisi nomor rangka, nomor mesin, nomor sasis dan nomor plat kendaraan yang menjadi agunan. Suwandi menjelaskan melalui asset registry ini bisa mencegah terulangnya kasus double pledging.

Bagi perbankan yang menerima jaminan piutang bisa mengecek ke asset registry apakah aset yang menjadi agunan perusahaan pembiayaan sudah dijaminkan ke bank lain atau lembaga keuangan lain.

"Dengan sistem dan database yang ada, saya yakin kepercayaan perbankan terhadap multifinance dapat terjalin kembali. Kami pun sudah membuktikan bahwa saat pendanaan dari bank seretm anggota APPI tetap mampu membayar kewajiban kepada bank dengan tetap melaksanakan kaidah bisnis yang baik," ujarnya.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...