Pemerintah Kaji Ganti Rugi Penerima Vaksin yang Kena Masalah Kesehatan

Agustiyanti
17 Mei 2021, 18:57
vaksin, vaksinasi Corona, KIPI, kejadian ikutan pasa imunisasi
ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/rwa.
Petugas kesehatan menyuntikkan vaksin COVID-19 AstraZeneca tahap pertama di Sentra Vaksinasi Central Park dan Neo Soho Mall, Jakarta Barat, Sabtu (8/5).

Pemerintah tengah membahas rencana perubahan kedua Peraturan Presiden Nomor 99 tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan pandemi Covid-19. Salah satu perubahan yang akan dilakukan yakni penegasan terkait tanggung jawab pemerintah atas Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) virus corona yang dialami penerima vaksin.

Sekretaris Menko Perekonomian Susiwijono menjelaskan bahwa penegasan tersebut salah satunya mengenai aspek ganti rugi atau legal indemnity jika penerima vaksin mengalami kejadian ikutan. "Formulasinya nanti seperti apa masih akan kami bahas," kata Susiwijono dalam media briefing, Senin (17/5).

Perubahan aturan, menurut dia, juga akan mencakup penjelasan aspek hukum mengenai jaminan ketersediaan vaksin dari produsen, termasuk kelancaran dalam pengadaan vaksin. Namun, ia menekankan tidak ada perubahan terkait teknis pelayanan vaksinasi ke masyarakat

Pemerintah sudah pernah mengubah Perpres 99/2021 menjadi Perpres 14/2021. Di dalam perubahan pertama tersebut, terdapat tambahan penjelasan tindakan pemerintah terhadap kasus kejadian ikutan pasca vaksinasi Covid-19.

Pasal 15 A berbunyi, biaya pengobatan dan perawatan ditanggung melalui mekanisme Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk peserta yang aktif. Sementara, untuk peserta JKN yang tidak aktif dan di luar kepesertaan, didanai melalui mekanisme pendanaan lain yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara.

Dalam hal terdapat kasus kejadian ikutan pasca vaksinasi yang dipengaruhi oleh produk vaksin Covid-19 berdasarkan hasil kajian kausalitas dan kasus tersebut menimbulkan kecacatan atau meninggal, juga akan diberikan kompensasi oleh pemerintah berupa santunan cacat atau santunan kematian. Untuk besarannya, ditetapkan oleh Menteri Kesehatan setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan.

Sebelumnya, Trio Fauqi Virdaus, 22 tahun, meninggal dunia setelah menjalani vaksinasi AstraZeneca pada Rabu (5/5). Menanggapi kejadian tersebut, Komisi Nasional Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (Komnas KIPI) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tengah menguji sterilitas dan toksisitas vaksin tersebut untuk membuktikan pengaruh imunisasi terhadap kematian pemuda tersebut.

"Sekarang sedang diuji vaksinnya dari segi sterilitas dan toksisitas, apakah vaksin yang disuntikkan itu steril atau tidak. Kami juga cek apakah ada kandungan toksisitasnya atau tidak," kata Ketua Komnas KIPI Hindra Irawan Satari seperti dikutip dari Antara, Minggu (16/5).

Toksisitas adalah sifat suatu zat yang merusak bila dipaparkan terhadap struktur organisme, seperti sel atau organ tubuh. Sementara sterilitas diuji untuk mengetahui apakah vaksin tersebut bersih dari kuman atau mikroorganisme lain.

Hindra mengatakan, kajian terhadap kandungan vaksin sedang dilakukan oleh BPOM. "Uji BPOM biasanya dua sampai tiga pekan. Itu meliputi toksisitas dan sterilitas," ujarnya.

Komnas KIPI juga telah berupaya menginvestigasi kejadian wafatnya pemuda tersebut usai menerima vaksin berdasarkan riwayat penyakit atau komorbid yang mungkin berkaitan dengan KIPI. Berdasarkan rekam medis dari pihak dokter yang pernah melayani Trio, Komnas KIPI menemukan ada penyakit kronis yang diderita. Namun, Hindra memastikan kejadian wafatnya penerima vaksin tidak dipicu oleh penyakit kronis tersebut. "Kalau terkait penyakit kronisnya apa dan bagaimana, itu rahasia medis yang tidak bisa kami ungkapkan," katanya.

Menurut Hindra, investigasi terhadap kejadian yang dialami Trio bisa dinyatakan selesai apabila BPOM telah melaporkan hasil uji terhadap sterilitas maupun toksisitas dari vaksin yang disuntik kepada almarhum. Namun, investigasi juga memungkinkan dapat berlanjut melalui proses otopsi jenazah almarhum dengan seizin keluarga.

Proses outopsi jenazah, kata Hindra, diperlukan oleh Komnas KIPI menyusul ketiadaan data pendukung proses autopsi. "Data yang dihimpun KIPI tidak ada sama sekali, sebab almarhum tiba di rumah sakit sudah wafat. Dokter juga tidak sempat memeriksa lebih jauh. Datanya tidak ada sama sekali," ujar dia.

Reporter: Agatha Olivia Victoria

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...