Tak Kalah dari Australia, RI akan Percepat Program Pensiun Dini PLTU
Kementerian ESDM menekankan, Indonesia memiliki program serupa Australia untuk mempercepat penghentian operasional pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) guna menekan emisi gas rumah kaca. Australia berencana menghentikan operasional Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara terbesar di negaranya berkapasitas 2,88 gigawatt (GW) pada 2025.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana mengatakan, pemerintah telah memiliki kebijakan untuk tidak menambah PLTU Batu Bara baru. Namun, kebijakan ini dikecualikan untuk PLTU yang sudah dalam proses pembangunan dan telah ditetapkan di dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030.
"Kebijakan lainnya adalah untuk tidak memperpanjang kontrak pengoperasin PLTU. Sehingga nanti secara natural, PLTU akan semakin berkurang dan digantikan oleh EBT," kata Dadan kepada Katadata.co.id, Senin (21/2).
Menurut Dadan, pemerintah tengah mengupayakan agar opsi pensiun dini PLTU di Tanah Air dapat dipercepat. Namun demikian, pemerintah tetap memperhatikan isu komersial dalam kontrak. "Ini yang disebut dengan Program Energy Transition Mechanism," ujarnya.
Pemerintah berencana mempensiunkan dini PLTU dengan total kapasitas sebesar 9,2 Giga Watt (GW) sebelum 2030. Hal ini mempertimbangkan peralihan lanskap energi global menuju ekonomi rendah karbon dan net zero emission (NZE) atau nol emisi karbon.
Sebanyak 5,5 GW dari PLTU akan dipensiunkan secara dini tanpa adanya penggantian dari pembangkit listrik EBT. Jumlah ini berkontribusi pada pengurangan emisi karbon dioksida (CO2) sebesar 36 juta ton dengan total investasi yang dibutuhkan sebesar US$ 26 miliar atau Rp 372 triliun.
Sementara sisanya 3,7 GW atau sekitar 40% akan pensiun dini dan diganti dengan pembangkit listrik EBT. Angka ini akan berkontribusi pada pengurangan emisi total sebesar 53 juta ton CO2.
Australia sebelumnya menyatakan akan mempensiunkan PLTU terbesar di negaranya berkapasitas 2.880 megawatt (MW) atau 2,88 gigawatt (GW) yang dikelola oleh Origin Energy pada 2025, tujuh tahun lebih awal dari direncana semula.
Perusahaan energi yang berbasis di New South Wales, Australia, tersebut akan mengganti PLTU batu bara Eraring dengan fasilitas baterai berkapasitas hingga 700 MW. Sebagian besar akan dibangun sebelum PLTU tersebut dipensiunkan.
PLTU batu bara dinilai semakin tidak ekonomis dan merugikan perusahaan karena harga listrik dari pembangkit energi baru terbarukan seperti surya dan angin, ditambah dengan teknologi baterai semakin murah.
“Kenyataannya ekonomi pembangkit listrik tenaga batu bara berada di bawah tekanan yang meningkat oleh pembangkit listrik yang lebih bersih dan berbiaya rendah, termasuk tenaga surya, angin, dan baterai,” kata CEO Origin Energy Frank Calabria, dikutip dari Reuters pada Jumat (18/2).