Potret Muram Ekonomi Saat Ini: Rekening Gendut Dana Masyarakat di Bank
Aktivitas bekerja dari rumah yang dilakukan Lidia, 32 tahun, sejak Pembatasan Sosial Berskala Besar berlaku di Jakarta mulai awal April lalu membuat simpanannya di bank menggemuk. Pandemi tak hanya memangkas ongkos transportasi, tetapi juga biaya hiburan yang sebelumnya cukup besar.
Tak ada pengeluaran untuk berlibur seperti yang biasa dilakukannya beberapa kali dalam setahun. Pengeluaran untuk nonton di Bioskop atau nongkrong di cafe pun nyaris nihil
"Pengeluaran otomatis turun sejak pandemi. Apalagi sekarang juga lebih banyak masak sendiri," ujar Lidia kepada Katadata.co.id, Senin (21/9).
Lidia rutin menyisihkan pendapatan untuk investasi. Pengeluaran yang berhasil dihemat lantaran melakukan segala aktivitas di rumah tak dikelola Lidia ke instrumen investasi lain. Ia sengaja tak memindahkan uang dari rekening tabungan guna mengantisipasi kebutuhan darurat di situasi yang tak pasti ini.
"Sengaja disimpan di tabungan untuk jaga-jaga kalau ada kebutuhan darurat," katanya.
Beda dengan Lidia, Anggi Tamara, 26 Tahun, sengaja berhemat sejak pandemi Covid-19. Ia khawatir terkena pemutusan hubungan kerja akibat kondisi ekonomi yang semakin memburuk.
"Sekarang pengeluaran yang enggak perlu dipangkas. Kalau pas jadwal ke kantor juga sengaja bawa bekal, selain lebih bersih supaya hemat," ujar Anggia.
Anggia sudah merasakan dampak pemburukan ekonomi. Kini, ia hanya mengantongi gaji pokok. Berbagai fasilitas seperti uang makan dan tunjangan lain untuk sementara ditangguhkan perusahaan.
"Dulu juga ada uang lembur yang lumayan besar, sekarang ditiadakan karena pandemi," ungkapnya.
Ia pun memutuskan untuk menyisihkan lebih banyak dana dari pendapatan untuk di simpan di bank dalam bentuk tabungan dan deposito. "Sejak pandemi semakin cari tahu soal deposito, itu dimanfaatkan untuk simpan dana darurat," katanya.
Langkah Lidia dan Anggia tercermin pada pertumbuhan dana pihak ketiga perbankan. Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyebut dana pihak ketiga perbankan pada Agustus 2020 tumbuh 11,64%. Padahal, penyaluran kredit hanya tumbuh 1,04%.
Kondisi tersebut membuat likuiditas perbankan kian longgar. Rasio kredit terhadap simpanan atau LDR turun ke posisi 85,11%. "Longgarnya kondisi likuiditas juga mendorong tingginya rasio alat likuid terhadap DPK perbankan yakni 29,22% pada Agustus 2020," ujar Perry dalam konferensi pers, Kamis (18/9).
Pertumbuhan DPK pada bulan lalu naik signifikan dibandingkan Juli yang tercatat 7,7% secara tahunan atau year on year. Kenaikan simpanan tersebut terjadi di tengah tren penurunan bunga deposito.
Sepanjang tahun ini, rata-rata bunga deposito telah turun 82 bps dari 6,31% menjadi 5,49%. Sementara rata-rata suku bunga pasar uang antar bank tenor satu malam atau overnight turun 1,5% dari 4,81% menjadi 3,31%.
Meski rata-rata bunga deposito masih berada di level 5%, bunga deposito bank besar sudah berada di kisaran 3%. Bank Mandiri, BRI, dan BNI memberikan bunga deposito untuk seluruh jenis simpanan dan tenor hanya sebesar 3,5%, sedangkan BCA lebih rendah yakni 3,45%.
Kalangan Menengah Atas Tahan Konsumsi
Staf Ahli OJK Bidang Makroekonomi dan perbankan Ryan Kiryanto menjelaskan DPK perbankan tumbuh di tengah penurunan bunga karena banyak nasabah yang tak menarik dana untuk berbagai aktivitas ekonomi, baik yang bersifat produktif maupun konsumtif. "Pandemi Covid-19 disertai PSBB membuat masyarakat berpengasilan tetap dan mapan terbatas untuk melakukan konsumsi," ujar Ryan kepada Katadata.co.id, Senin (21/9).
Masyarakat yang masih membatasi konsumsi, menurut Ryan, juga terlihat dari deflasi yang terjadi selama dua bulan berturut-turut pada Juli dan Agustus seperti terlihat dalam databoks di bawah ini.
Hal senada diungkapkan Direktur Riset Core Indonesia Piter Abdullah. Menurut Piter, masyarakat secara umum menunda konsumsi sehingga simpanan meningkat. Hal ini terutama terjadi pada masyarakat berpenghasilan menengah tinggi.
"Ini terutama yang memiliki tabungan besar di atas ratusan juta, karena umumnya pendapatan mereka masih tetap tetapi konsumsi turun," katanya.
Di sisi lain, simpanan nasabah korporasi dalam bentuk giro juga meningkat karena aktivitas ekonomi yang masih terhambat. Ia pun memperkirakan simpanan perbankan masih akan tumbuh kencang sepanjang konsumsi masyarakat dan perekonomian belum pulih.
Pertumbuhan DPK pada Agustus meningkat dibandingkan bulan Juli yang tumbuh 7,7% secara tahunan. Simpanan dalam bentuk giro tumbuh paling kencang pada Juli mencapai 11,2% dengan total dana yang dihimpun mencapai 1.411 triliun. Pertumbuhan giro didorong oleh simpanan nasabah korporasi nonfinansial. Sementara itu, tabungan tumbuh 8,2% dan simpanan berjangka atau deposito tumbuh 5,5%.
Berdasarkan data distribusi simpanan LPS pada Juli, kenaikan DPK didorong oleh kelompok simpanan di atas Rp 5 miliar. Pertumbuhannya mencapai 9,9% secara tahunan dengan total simpanan mencapai Rp 3.043 triliun. Selain itu, kenaikan dana juga didorong oleh kelompok simpanan Rp 200 juta hingga Rp 2 miliar dengan pertumbuhan mencapai 9%.
Sementara itu, nilai penempatan dana untuk simpanan di bawah Rp 100 juta hanya tumbuh 4,4% menjadi Rp 886 triliun.
Kepala Ekonom BCA David Sumual menilai golongan masyarakat menengah atas memiliki kontribusi yang besar terhadap konsumsi rumah tangga. Saat ini, kelompok masyarakat tersebut memilih untuk menahan diri untuk berberlanja atau konsumsi, terutama karena kasus Covid-19 yang masih tinggi dan ketidakpastian global.
"Mereka ini yang membuat konsumsi rumah tangga anjlok pada kuartal dua lalu," katanya.
Pemerintah, menurut dia, perlu meningkatkan keyakinan konsumen agar kelompok masyarakat golongan ini kembali mendorong belanja. Hal ini terutama dilakukan dengan penanganan pandemi covid-19 yang baik serta ketersediaan vaksin.
Ekonomi Indonesia diproyeksi terkontraksi lebih dalam dari prediksi awal terutama seiring langkah DKI Jakarta kembali memperketat pembatasan sosial berskala besar. Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya memperkirakan ekonomi pada kuartal III berpotensi terkontraksi lebih dalam dari prediksi awal yakni minus 2,1% hingga tumbuh 0,2%. Namun, pemerintah masih memproyeksi ekonomi tahun ini akan tumbuh pada kisaran minus 1,1% hingga tumbuh 2% meski kemungkinan berada di batas bawah.
"Kami siapkan kemungkinan ekonomi tumbuh paling rendah atau negatif 1,1% karena ada PSBB seperti yang terjadi di DKI," kata Sri Mulyani.
Proyeksi kontraksi ekonomi yang lebih buruk ini seiring pengetatan kembali pembatasan sosial berskala besar yang dilakukan DKI Jakarta sejak Senin (14/9). OECD dalam laporan terbarunya juga memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari minus 2,8% menjadi 3,3% meski memproyeksi ekonomi global lebih baik yakni terkontraksi 4,5% dari proyeksi sebelumnya -6%.