OJK Minta Bank Waspadai Debitur 'Nakal' saat Restrukturisasi Kredit

Agustiyanti
28 Oktober 2020, 13:18
NPL, kualitas kredit, otoritas jasa keuangan
Katadata | Arief Kamaludin
Ilustrasi. OJK mencatat rasio NPL perbankan meningkat dari 3,11% pada Juli menjadi 3,22% per Agustus 2020.

Otoritas Jasa Keuangan meminta perbankan mewaspadai kemungkinan munculnya debitur-debitur nakal pasca-program restrukturisasi kredit berakhir. Bank harus membentuk Cadangan Kerugian Penurunan Nilai atau CKPN guna mengantisipasi kondisi tersebut.

"Kalau ekonomi tumbuh, pasti penyaluran dan kualitas kredit akan pulih cepat, tetapi perbankan harus waspada jika ada yang butuh perhatian lebih dan tak punya niat baik, harus dibentuk CKPN," ujar Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan melalui video daring, Selasa (27/8).

Wimboh menyebut, sebanyak Rp 94 triliun kredit yang direstrkturisasi meminta penundaan pembayaran bunga dan pokok. Adapun total kredit yang telah diresktrukturisasi perbankan hingga September 2020 mencapai Rp 904 triliun.

Bardasarkan data OJK, rasio NPL perbankan pada Agustus 2020 meningkat dari 3,11% pada Juli menjadi 3,22%. Namun, Wimboh menyebut rasio NPL pada September sudah mulai menurun.

Perbankan juga memiliki ketahanan dari sisi permodalan dan likuiditas yang kuat. Rasio CAR perbankan saat ini berada di kisaran 23%. Kondisi likuiditas juga melonggar ditunjukkan oleh rasio alat likuid per non-core deposit hingga 14 Oktober yang mencapai 163%, naik dibandingkan posisi akhir Juni sebesar 122%. Ini jauh di atas ambang batas rasio AL/NCD menurut ketentuan OJK sebesar 90%.

"Alat likuid per DPK mencapai 32,88%, lebih tinggi dibandingkan kuartal II sebesar 26,24% dan jauh di atas thresshold minimum," ujar Wimboh.

Wimboh optimistis kondisi perbankan terutama penyaluran kredit akan mulai membaik pada kuartal keempat, setelah terkontraksi cukup dalam sejak Maret hingga Juni 2020. OJK mencatat sebanyak 74 korporasi besar mengalami penurunan baki kredit sepanjang tahun ini karena operasional yang belum maksimal seiring permintaan yang masih lemah.

"Kami lihat pertuumbuhan korporasi ada tanda-tanda lebih baik dengan berbagai stimulus termasuk penjaminan. Orang-orang saat ini juga mulai mulai punya keberanian untuk aktivitas, menengah atas mulai meningkat. Tanda-tanda baik untuk recovery di sektor finansial," katanya.

 

Upaya memperbesar pencadangan sudah dilakukan oleh sejumlah bank besar, salah satunya BCA. Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja menjelaskan sepanjang sembilan bulan tahun ini biaya pencadangan BCA mencapai Rp 9,1 triliun, meningkat hingga 160,6% dibandingkan Rp 3,5 triliun pada kuartal III 2019.

Kenaikan pencadangan, menurut Jahja, dilakukan lantaran rasio NPL naik dari 1,6% menjadi 1,9%. "Kalau kredit itu bermasalah, harus dibikin pencadangan," kata Jahja dalam konferensi pers secara virtual, Senin (26/10). 

Pencadangan yang lebih besar pun membuat laba bersih perseroan hingga kuartal III 2020 turun 4,2% dibandingkan periode yang sama tahun lalu menjadi Rp 20 triliun. Aksi memupuk pencadangan juga dilakukan oleh BNI. 

Bank BUMN ini meningkatkan rasio kecukupan pencadangan atau coverage ratio pada  kuartal III 2020 dari 152,9% pada  periode yang sama tahun lalu menjadi  206,9%.  Alhasil laba perseroan anjlok hingga 63,9% dalam sembilan bulan tahun ini  dibanding periode yang sama tahun lalu menjadi hanya Rp 4,32 triliun

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...