Hanya 12,5% UMKM di Indonesia yang Kebal dari Pandemi Covid-19
Pandemi Covid-19 memukul hampir seluruh sektor perekonomian di Indonesia, termasuk usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Namun, BI mencatat terdapat 12,5% UMKM yang tidak terdampak lantaran mampu beradaptasi selama pandemi.
Direktur Departemen Pengembangan UMKM dan Perlindungan Konsumen BI Bandoe Widiarto mengatakan, terdapat 370 dari 2,970 UMKM yang disurvei BI tidak terdampak pandemi Covid-19. "Mereka yang bisa sukses ini cenderung menerapkan digitalisasi," kata Bandoe dalam acara Pelatihan Wartawan BI kuartal I 2021, Jumat (26/3).
Dari total 370 UMKM, 27,6% menunjukan peningkatan penjualan, sedangkan 72,4% berhasil mempertahankan. Selain itu, 40,8% UMKM yang tidak terdampak telah menerapkan strategi untuk meminimalisasi dampak pandemi. Jenis strategi yang dilakukan, yakni berjualan secara daring. menambah produk, efisiensi biaya, fokus ke usaha sampingan, dan strategi lainnya.
Bandoe menilai bahwa digitalisasi UMKM sangat penting di era pandemi. Namun, menurut dia, diperlukan kesabaran dan pendampingan semua pihak untuk mendorong UMKM go digital.
Selain memberikan pelatihan, pelaku UMKM tetap harus dipantau dalam melakukan digitalisasi. Ini agar pelaku usaha bisa terbantu jika menghadapi kendala teknis dalam menerapkan digitalisasi pada usahanya.
Di sisi lain, BI mencatat, terdapat 87,5% atau 2.600 UMKM yang terdampak negatif pandemi Covid-19. Dari jumlah tersebut, 93,2% terdampak dari sisi penjualan. Sebanyak 16,2% UMKM yang terdampak mengalami penurunan penjualan hingga 25%. Lalu, 40% UMKM mengalami penurunan penjualan 25-50%, 28,2% UMKM mengalami penurunan penjualan 51-75%, dan 15,6% UMKM penjualannya anjlok di atas 75%.
Adapun sebanyak 64,2% UMKM yang terdampak telah menerapkan strategi untuk meminimalisasi dampak pandemi. Sementara itu, tercatat 52,1% UMKM tidak terkorporatisasi dan 35,5% terkorporatisasi.
Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia Ikhsan Ingratubun menyebutkan, pengembangan digitalisasi UMKM sangat luar biasa. Jumlah UMKM yang terdigitalisasi pada tahun lalu telah mencapai 55 juta, melonjak dari 17 juta pada 2018. "Ini memang akselerasi karena pandemi," kata Ikhsan dalam kesempatan yang sama.
Meski begitu, menurut dia, jumlah UMKM semakin menurun pada tahun 2020 karena adanya pandemi. Berdasarkan catatannya, UMKM pada tahun 2017 berjumlah 60,4 juta dan terus meningkat menjadi 62,6 juta pada 2018 dan 64,7 juta pada 2019. Namun, jumlah UMKM pada 2020 menurun drastis menjadi 34 juta unit.
Selain itu, menurut Ikhsan, kontribusi UMKM terhadap PDB yang mencapai 60% pada 2019 pasti akan turun. "UMKM tidak mampu berkontribusi sebesar ini pada tahun 2020 karena tidak bisa bertahan," ujarnya.
Menurut dia, UMKM terutama usaha mikro hanya bisa bertahan selama dua hingga tiga bulan di tengah pandemi. Ini terutama karena pemerintah menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang sangat memukul UMKM. Para pelaku usaha kecil baru dapat beraktivitas kembali seiring pelonggaran PSBB dan penerapan pembelakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) mikro.
Kendati demikian, ia mengapresiasi berbagai kebijakan pemerintah yang sangat mendukung UMKM di tengah Covid-19. Salah satunya, alokasi anggaran negara untuk UMKM. "Kami harapkan ini masih berlanjut pada 2021 karena pandemi masih berlangsung," kata dia.
Pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp 186,81 triliun untuk dukungan UMKM dan korporasi dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2021 yang diperkirakan memakan dana Rp 699,43 triliun. Dukungan UMKM dan korporasi akan meliputi subsidi bunga UMKM Rp 31,95 triliun, bantuan produktif usaha mikro Rp 17,34 triliun, dan subsidi imbal jasa penjaminan Rp 8,51 triliun. Selanjutnya, penyuntikan modal negara untuk BUMN, LPEI, dan LPI Rp 58,76 triliun, penempatan dana Rp 66,99 triliun, serta dukungan lainya Rp 3,27 triliun.