Ekspor Impor Melesat, Surplus Neraca Dagang Maret Susut Jadi US$ 1,6 M
Badan Pusat Statistik mencatat neraca dagang (perdagangan) pada Maret 2021 surplus US$ 1,56 miliar, lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya US$ 2 miliar tetapi lebih tinggi dari Maret 2020 US$ 715,7 juta. Sepanjang kuartal pertama tahun ini, neraca perdagangan surplus US$ 5,5 miliar.
Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan, ekspor pada bulan lalu melesat 20,31% dibandingkan Februari (month to month/mtm) atau 30,47% dibandingkan Maret 2020 (year on year/yoy) menjadi US$ 18,35 miliar. Impor juga melesat 26,55% mtm atau 25,73% yoy menjadi US$ 16,79 miliar.
"Performa ekspor dan impor pada Maret sangat bagus sekali. Dengan nilai ekspor dan impor tersebut, neraca perdagangan surplus US$ 1,57 miliar," ujar Suhariyanto dalam Konferensi Pers Pengumuman Ekspor dan Impor Maret 2021, Kamis (15/4).
Suhariyanto menjelaskan, pergerakan ekspor dan impor yang tinggi pada bulan lalu sejalan dengan beberapa indikator yang dirilis lembaga lain. Purchasing Manufacturing Index atau PMI oleh IHS Markit pada Maret berada pada level 53,2 atau memasuki fase ekspansi. PMI manufaktur global, menurut dia, juga tumbuh cukup tinggi seiring peningkatan aktivitas masyarakat seiring vaksinasi.
Menurut Suhariyanto, kenaikan ekspor terjadi pada seluruh sektor. Ekspor pertanian tumbuh 27,06% mtm atau 25,04% yoy menjadi US$ 0,39 miliar, industri pengolahan tumbuh 22,27% mtm atau 33,45% yoy menjadi US$ 14,84 miliar, pertambangan dan lainnya tumbuh 13,68% mtm atau 11,93% yoy menjadi US$ 2,22 miliar, sedangkan migas naik 5,28% mtm atau 38,67% yoy menjadi US$ 0,91 miliar.
"Ekspor pertanian tumbuh didorong oleh komoditas seperti sarang burung, tanaman obat aromatik, dan rempah seperti cengkeh, tembakau, dan lada putih. Ekspor industri pengolahan karena kenaikan ekspor minyak sawit, besi baja, dan kimia dasar organik," kata dia.
Adapun kenaikan ekspor berdasarkan barang hs dua digit, didorong oleh kenaikan ekspor lemak dan minyak nabati US$ 1,16 miliar, bijih kerak dan abu logam US$ 226,3 juta, besi baja US$ 117,7 juta, serta mesin dan peralatan elektrik US$ 134,3 juta.
"Sebagian besar ekspor lemak dan minyak hewan nabati ditujukan ke Tiongkok, India, dan Malaysia," ujarnya.
Sementara itu, menurut Suhariyanto, impor juga menunjukkan kenaikan yang tajam sejak bulan lalu. Berdasarkan penggunaan barangnya, seluruh komponen impor naik. Impor barang konsumsi naik 15,51% mtm atau 13,4% yoy menjadi US$ 1,41 miliar.
"Impor barang konsumsi karena ada vaksin dari Tiongkok, susu dari Selandia Baru, raw sugar dari India, dan mesin AC dari Thailand," ujar Suhariyanto.
Ia juga menyebut impor bahan baku melesat 31,1% mtm atau 25,82% yoy menjadi US$ 12,97 miliar, dan impor barang modal naik 11,85% mtm atau 33,8% yoy menjadi US$ 2,4 miliar.
"Kami berharap pertumbuhan dua digit pada bahan baku maupun barang modal menunjukkan geliat manufaktur dan investasi sehingga mendorong pemulihan ekonomi pada kuartal I dan berlanjut kuartal II," katanya,"
Kinerja ekspor impor ini berada di atas perkiraan ekonom. Kepala Ekonom PermataBank Josua Pardede sebelumnya memperkirakan, ekspor tumbuh 3% secara bulanan, sedangkan impor tumbuh. Namun, Josua memperkirakan neraca perdagangan surplus US$ 1,5 miliar, tak jauh berbeda dari catatan BPS.
Menurut dia, kinerja ekspor Maret 2021 dipengaruhi peningkatan harga komoditas ekspor dan volume permintaan produk ekspor. Harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) sepanjang bulan lalu tercatat naik 1,1% secara bulanan, menurun dari kenaikan 3% pada Februari 2021. Sementara, harga batubara meningkat 9,4%, naik dari minus 0,1% pada bulan sebelumnya. Selain itu, harga karet alam terpantau meningkat 3,8%, menurun dari kenaikan 5,4% pada Februari 2021.
Volume ekspor bulan lalu, menurut Josua, kemungkinan meningkat karena terdapat geliat aktivitas manufaktur dari beberapa mitra dagang utama seperti Uni Eropa, AS, Jepang. Hal tersebut juga terindikasi dari PMI manufaktur global yang meningkat meskipun aktivitas manufaktur Tiongkok dan India cenderung menurun pada periode tersebut.
Di sisi lain, impor bulan lalu didorong oleh peningkatan impor non-migas sejalan dengan peningkatan aktivitas manufaktur Indonesia pada Maret 2021 mencatatkan posisi tertinggi sejak pandemi. Selain itu, menurut dia, impor migas juga berpotensi meningkat seiring dengan kenaikan harga minyak mentah sekitar 5,6% secara bulanan. "Jadi, secara keseluruhan laju ekspor diperkirakan 11,77% secara tahunan sementara impor 6,14%," katanya.