Postur APBN 2022: Belanja Rp 2.775 T, Defisit APBN Turun Jadi 4,8% PDB
Pemerintah mematok defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Rp 808,2 triliun hingga 879,9 triliun atau 4,51-4,85% terhadap produk domestik bruto (PDB) pada tahun depan. Belanja negara akan mencapai Rp 2.631,8 triliun hingga Rp 2.775,3 triliun, sedangkan pendapatan negara Rp 1.823,5 triliun hingga Rp 1.895,4 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, arah kebijakan fiskal tahun depan akan berfokus pada pemulihan ekonomi dan melaksanakan reformasi struktural untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. "Efektivitas pemulihan dan reformasi struktural menjadi kunci menuju konsolidasi fiskal tahun 2023," ujar Sri Mulyani dalam Rapat Koordinasi Pembangunan Pusat 2021, Kamis (29/4).
Secara perinci, pendapatan negara pada tahun depan akan berasal dari perpajakan Rp 1.499,3 triliun - Rp 1.528,7 triliun, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 322,4 triliun - Rp 363,1 triliun, dan hibah Rp 1,8 triliun- Rp 3,6 triliun. Sedangkan belanja negara terdiri dari belanja pusat Rp 1.856 triliun - Rp 1.929,9 triliun, serta transfer ke daerah dan dana desa Rp 775,8 triliun- Rp 845,3 triliun.
Rencana anggaran belanja dan pendapatan tersebut lebih tinggi dibandingkan target pemerintah pada tahun ini. Dalam APBN 2021, belanja negara dipatok Rp 2.750 triliun, sedangkan pendapatan negara Rp 1.743,6 triliun. Adapun defisit anggaran pada tahun depan lebih rendah dibandingkan tahun ini yang dipatok Rp 1.006,4 triliun atau 5,4% PDB.
Dengan defisit anggaran tersebut, Sri Mulyani menargetkan pembiayaan anggaran mencapai Rp 808,2 triliun - 879,9 triliun atau 4,51-4,85%. "Pembiayaan 2022 akan terus dijaga secara prudent di dalam kondisi global yang dinamis, termasuk tren dari pemulihan ekonomi global," ujarnya.
Pembiayaan anggaran tahun depan akan berasal dari utang neto 4,81-5,8% dan investasi minus 0,3-0,95%. Dengan demikian rasio utang dipatok sebesar 43,76-44,28% dengan titik tengah 41,05%. Sementara itu, keseimbangan primer akan defisit Rp 414,1 - 480,5 triliun atau 2,31-2,65% PDB.
Pemerintah juga telah menetapkan lima arah kebijakan pembiayaan pada tahun 2022. Pertama, mendorong pembiayaan inovatif antara lain penguatan peran BUMN, Badan Layanan Umum, Sovereign Wealth Fund (SWF), dan Special Mission Vehicle (SMW), serta mendorong skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) lebih masif.
Kedua, menjaga efektivitas pembiayaan investasi antara lain melalui pemberian Penyertaan Modal Negara (PMN) secara selektif. Ketiga, meningkatkan akses pembiayaan bagi UMKM, UMi, dan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Keempat, mendukung pendalaman pasar dan efisiensi cost of borrowing melalui perluasan basis investor atau kanal pembayaran surat berharga negara (SBN) ritel serta mendorong penerbitan obligasi/sukuk daerah. Kelima, pembiayaan investasi untuk mengakselerasi penguatan kulaitas daya saing SDM serta peningkatan ekspor.
Bendahara Negara menjelaskan, anggaran negara 2022 akan digunakan sebagai instrumen kebijakan penguatan pemulihan dan menjalankan reformasi struktural. Ini berbeda dengan APBN 2021 yang masih berfungsi mendukung penanganan Covid-19, program vaksinasi, dan akselerasi pemulihan ekonomi.
Sebelumnya, lembaga pemeringkat Standard and Poor’s (S&P) mempertahankan peringkat kredit Indonesia pada posisi BBB dengan outlook negatif pada 22 April lalu. Namun, lembaga tersebut memberikan catatan bahwa tantangan yang dihadapi Indonesia selanjutnya yakni mengembalikan rasio defisit fiskal ke 3% pada 2023.
S&P memproyeksikan konsolidasi fiskal berjalan secara gradual. Defisit fiskal akan menyempit tahun ini menjadi 5,7% dan 4,2% pada 2022. Lembaga pemeringkat itu berharap pemerintah menjaga komitmen untuk mengembalikan disiplin fiskal, meskipun ketidakpastian akibat pandemi masih sangat tinggi.