BI Sudah Guyur Likuiditas ke Perbankan Rp 845 T, Kredit Masih Lesu
Bank Indonesia (BI) telah menggelontorkan likuiditas digelontorkan kepada perbankan mencapai Rp 845 triliun melalui kebijakan quantitative easing atau likuiditas longgar sejak awal tahun lalu hingga 31 Agustus 2021. Nilai ini setara 5,3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
"Kebijakan likuiditas longgar dipertahankan untuk tetap meningkatkan kredit atas pembiayaan perbankan kepada dunia usaha," kata Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI, Selasa (14/9).
Destry merincikan, besaran quantitative easing yang diberikan BI kepada perbankan Rp 845 triliun terdiri atas injeksi Rp 726,57 triliun sepanjang tahun lalu dan Rp 118,35 tahun ini hingga 31 Agustus 2021. Injeksi tahun ini terdiri atas realisasi semester pertama 2021 sebesar Rp 97,34 triliun. Kemudian dilanjutkan pada semester kedua 2021 sebesra Rp 21 triliun pada periode dua bulan pertama yakni Juli dan Agustus.
Dengan ekspansi moneter tersebut, Destry mengatakan kondisi likuiditas perbankan terpantau masih longgar dan mampu mendukung pemulihan ekonomi. Ini tercermin dari rasio alat likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (DPK) pada Juli 202 sebesar 32,5% secra year-on-year (yoy) dan pertumbuhan DPK 10,4%.
Kebijakaan tersebut juga disebut ikut mendukung likuiditas perekonomian. Hal ini tercermin dari uang beredar dalam arti sempit (M1) dan uang beredar dalam arti luas (M2) pada Juli 2021 tumbuh masing-masing 14,9% secara yoy dan 8,9%.
Meski likuiditas perbankan longgar, penyaluran kredit tercatat masih lesu. BI mencatat, penyaluran kredit perbankan hanya tumbuh 0,5% pada Juli, melambat dibandingkan bulan sebelumnya 0,5%.
Gubernur BI Perry Warjiyo pada bulan lalu menjelaskan, penyaluran kredit memang belum seperti harapan regulator. Namun, ia optimistis pertumbuhan kredit akan meningkat pada bulan-bulan ke depan, seiring likuiditas yang tetap longgar dan tren penurunan bunga kredit.
Bank Sentral menargetkan kredit perbankan dapat tumbuh 4% hingga 6% tahun ini, lebih rendah dari prediksi yang dibuat awal 2021 sebesar 5% hingga 7%. BI juga mencatat suku bunga dasar kredit turun 155 bps sejak Juni 2020 menjadi 8,82% pada Juni 2021.
Penurunan didorong oleh menurunnya Harga Pokok Dana untuk Kredit (HPDK) dan overhead cost (OHC). Sementara margin keuntungan masih meningkat pada kelompok bank BUMN dan BUSN.
Biayai APBN
Selain menempuh kebijakan moneter yang longgar melalui perbankan, intervensi bank sentral juga dilakukan melalui pembiayaan APBN. BI telah memborong Surat Berharga Negara (SBN) pemerintah di pasar perdana Rp 137,49 triliun sejak awal tahun hingga 31 Agustus 2021.
"Ini terdiri atas Rp 62,03 triliun melalui mekanisme lelang utama dan Rp 75,46 triliun melalaui mekanisme lelang tambahan," kata Destry.
Destry menjelaskan, BI melakukan pembelian obligasi pemerintah Rp 120,83 triliun sepanjang paruh pertama tahun ini. Kemudian pada periode Juli-Agustus 2021 pembelian berlanjut dengan besaran Rp 16,65 triliun. Selain itu, pihaknya juga telah melakukan pembelian SBN di pasar sekunder Rp 8,6 triliun dalam rangka stabilisasi nilai tukar.
BI kembali melanjutkan rencana pembelian obligasi pemerintah dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) III dengan Kementerian Keuangan. Dalam kesepakatan tersebut BI akan membeli obligasi pemerintah senilai Rp 215 triliun untuk membiayai APBN tahun ini dan Rp 224 dalam APBN 2022.
Sebagian dari pembelian tersebut diselesaikan dengan skema burden sharing alias berbagi beban, artinya pemerintah dibebaskan dari pembayaran bunga utang. Sementara, sebagian lainnya dilakukan dengan suku bunga reverse repo BI tenor 3 bulan yang kebuh rendah 1% dari bunga pasar.