Bank Dunia Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Jadi 5,1%
Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini dari semula mampu tumbuh 5,2% menjadi 5,1%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia dibayangi berbagai risiko global, seperti pengetatan moneter di Amerika Serikat hingga dampak dari perang Rusia dan Ukraina.
Perekonomian Indonesia tahun ini masih akan tumbuh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan rata-rata wilayah Asia Timur dan Pasifik yang diperkirakan mencapai 5%. Namun dalam skenario terburuk (low-base scenario), pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa terperosok ke 4,6%.
Pemangkasan prospek pertumbuhan ekonomi sebesar 0,1% yang dialami Indonesia masih lebih baik dibandingkan Malaysia yang turun 0.3%. Prospek ekonomi Thailand dipangkas 0,7%, sedangkan Vietnam mencapai 1,2%.
Bank Dunia melihat perekonomian di negara-negara Asia Pasifik tahun ini akan melanjutkan pemulihan. Negara-negara di kawasan ini juga sudah berhasil mengatasi gelombang Covid-19 varian Delta yang sulit dan relatif terdampak tidak terlalu parah akibat gelombang Omicron.
Meski demikian, Bank Dunia melihat ada tiga risiko yang memang membayangi prospek pertumbuhan ekonomi di kawasan ini. Risiko tersebut di antaranya, pengetatan moneter di Amerika mendorong pengetatan di sektor keuangan, faktor dari Cina yaitu lonjakan kasus Covid-19 dan masih berlanjutnya tekanan di sektor properti, serta pengaruh dari perang Rusia dan Ukraina.
"Meskipun beberapa negara dengan perekonomian besar mungkin bisa mengatasi tantangan-tantangan tersebut dengan lebih baik, dampak dari hal-hal tersebut akan menurunkan prospek pertumbuhan di sebagian besar kawasan Asia Timur dan Pasifik," kata Bank Dunia dalam laporannya, Selasa (5/4).
Proyeksi pertumbuhan ekonomi Asia Timur dan Pasifik diturunkan dari 5,4% menjadi 5%. Pada skenario terburuk, ekonomi kawasan diperkirakan hanya akan tumbuh 4%. Adapun, perhitungan skenario terburuk itu bergantung jika kondisi global memburuk dan kebijakan nasional masing-masing negara dalam merespon hal tersebut kurang solid.
Pengetatan moneter di Amerika akan mempersulit pemulihan ekonomi di negara lain, tidak terkecuali di kawasan Asia Timur dan Pasifik. Kenaikan bunga The Fed diperkirakan memangkas pertumbuhan ekonomi Malaysia hingga 0,4% dan Thailand 0,7%.
Prospek ekonomi kawasan juga akan dipengaruhi kondisi perlambatan ekonomi di Cina, yang dipengaruhi risiko gangguan di sektor properti, kebijakan zero-Covid-19, serta transisi menuju ekonomi lebih hijau. Gangguan dari sektor properti di Cina dapat memangkas prospek pertumbuhan ekonomi Asia Timur dan Pasifik sebesar 0,3%, sedangkan kebijakan zero-Covid-19 bisa memangkas pertumbuhan 0,14%.
Sementara itu, Bank Dunia menilai guncangan akibat perang Ukraina dan Rusia terutama berpengaruh di sisi kenaikan harga-harga. Bank Dunia memperkirakan 1,1 juta jiwa populasi Filipina masuk ke jurang kemiskinan jika harga sereal naik rata-rata 10%. Selain itu, pendapatan riil nasional Thailand dan Kamboja bisa berkurang 0,7% jika harga bahan bakar naik rata-rata 10%.
Bank Dunia menyebut beberapa negara di kawasan kemungkinan masih lebih tangguh dibandingkan yang lainnya saat menghadapi tiga risiko tersebut. "Negara-negara pengekspor komoditas, seperti Indonesia dan Malaysia, dapat meredam kenaikan harga internasional dengan lebih mudah daripada negara-negara pengimpor komoditas, seperti Fiji dan Thailand," kata Bank Dunia.
Menurut Bank Dunia, negara-negara yang melakukan pengendalian kebijakan fiskal dan moneter sejak tahap awal pandemi mempunyai ruang kebijakan untuk meredam guncangan. Salah satu contohnya adalah Cina yang menurunkan cadangan fiskal strukturalnya sebanyak 2,6% dari PDB pada tahun 2021 agar dapat merencanakan peningkatan 2,8% pada 2022 untuk memenuhi target pertumbuhannya. Sebaliknya, Mongolia dengan utang pemerintah yang mencapai hampir 80% dari PDB dan inflasi tahunan di atas 14%, mempunyai sedikit ruang untuk meredam dampak negatif tersebut.
Ekonomi Indonesia pada tahun lalu tumbuh 3,69%, lebih baik dibandingkan kontraksi pada tahun sebelumnya yang mencapai 2%.