Daftar Negara Terancam Bangkrut, Ada Laos dan Myanmar
Krisis keuangan yang menjalar menjadi krisis multidimensi saat ini sedang dihadapi Sri Lanka. Negara ini telah berupaya untuk keluar dari jeratan krisis dengan mengharapkan bantuan dari dana talangan Dana Moneter Internasional.
Sri Lanka bukan satu-satunya negara yang bangkrut dan ekonominya berada dalam masalah serius karena harga makanan, bahan bakar, dan bahan pokok lainnya melonjak dengan perang di Ukraina. Lonceng alarm berdering untuk banyak ekonomi di seluruh dunia, termasuk dua negara tetangga Indonesia, Laos dan Myanmar.
Mengutip APNews, sekitar 1,6 miliar orang di 94 negara menghadapi setidaknya satu dimensi krisis pangan, energi dan sistem keuangan. Sekitar 1,2 miliar dari mereka tinggal di negara-negara yang sangat rentan terhadap krisis biaya hidup ditambah krisis lainnya berdasarkan Global Crisis Response Group dari Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Penyebab pasti kesengsaraan negara-negara ini bervariasi. Namun, semua mendapatkan imbas dari melonjaknya biaya untuk makanan dan bahan bakar akibat perang Rusia melawan Ukraina yang melanda tepat ketika gangguan terhadap pariwisata dan aktivitas bisnis lainnya akibat pandemi virus corona baru mulai memudar. Bank Dunia pun memperkirakan bahwa pendapatan per kapita di negara berkembang akan menjadi 5% di bawah tingkat pra-pandemi tahun ini
Ketegangan ekonomi memicu protes di banyak negara. Pinjaman jangka pendek dengan bunga lebih tinggi untuk membantu membiayai paket bantuan pandemi telah membuat banyak negara memupuk utang yang sudah banyak dan tergopoh-gopoh membayarkan kembali utang dan cicilan pokoknya. Menurut PBB, lebih dari separuh negara termiskin di dunia berada dalam kesulitan utang atau berisiko tinggi.
Beberapa krisis terburuk terjadi di negara-negara yang sudah hancur oleh korupsi, perang saudara, kudeta, atau bencana lainnya. Mereka bingung, tetapi dengan beban penderitaan yang tidak semestinya.
Berikut adalah beberapa negara yang ekonominya terancam bangkrut dan kini berada dalam kesulitan besar:
Afganistan
Afganistan telah terhuyung-huyung dari krisis ekonomi yang mengerikan sejak Taliban mengambil alih usai AS dan sekutu NATO-nya menarik pasukan mereka tahun lalu. Bantuan asing yang telah lama menjadi andalan praktis terhenti dalam semalam. Amerika Serikat memberlakukan sanksi, menghentikan transfer bank, dan melumpuhkan perdagangan, menolak untuk mengakui pemerintah Taliban.
Pemerintahan Biden pun membekukan US$ 7 miliar cadangan mata uang asing Afganistan yang disimpan di Amerika Serikat. Sekitar setengah dari 39 juta penduduk negara itu menghadapi tingkat kerawanan pangan yang mengancam jiwa dan sebagian besar pegawai negeri, termasuk dokter, perawat, dan guru, tidak dibayar selama berbulan-bulan. Sebuah gempa bumi baru-baru ini menewaskan lebih dari 1.000 orang, menambah kesengsaraan negara ini.
Argentina
Sekitar empat dari setiap 10 orang Argentina miskin. Bank sentralnya kehabisan cadangan devisa karena mata uangnya melemah. Inflasi diperkirakan akan melebihi 70% tahun ini. Jutaan orang Argentina bertahan hidup, sebagian besar berkat dapur umum dan program kesejahteraan negara, banyak di antaranya disalurkan melalui gerakan sosial yang kuat secara politik terkait dengan partai yang berkuasa.
Kesepakatan baru-baru ini dengan IMF untuk merestrukturisasi utang US$44 miliar menghadapi pertanyaan atas konsesi yang menurut para kritikus akan menghambat pemulihan.
Mesir
Tingkat inflasi Mesir melonjak hampir 15% pada April, meningkatkan kemiskinan mencakup hampir sepertiga dari 103 juta penduduknya. Warga Mesir sudah menderita dari program reformasi ambisius yang mencakup langkah-langkah penghematan yang menyakitkan, seperti mengambangkan mata uang nasional dan pemotongan subsidi untuk bahan bakar, air dan listrik.
Bank sentral menaikkan suku bunga untuk mengekang inflasi dan mendevaluasi mata uang, menambah kesulitan dalam membayar utang luar negeri Mesir yang cukup besar. Cadangan devisa bersih Mesir telah anjlok. Tetangganya Arab Saudi, Qatar dan Uni Emirat Arab telah menjanjikan US$ 22 miliar dalam bentuk deposito dan investasi langsung sebagai bantuan.
Laos
Laos yang kecil dan terkurung oleh daratan adalah salah satu ekonomi dengan pertumbuhan tercepat hingga pandemi akhirnya melanda. Seperti Sri Lanka, utang Laos melonjak dan kini tengah dalam pembicaraan dengan kreditur tentang cara membayar kembali pinjaman senilai miliaran dolar. Pembicaraan ini mendesak mengingat keuangan pemerintah Laos sangat lemah.
Cadangan devisa Laos kurang dari dua bulan impor, kata Bank Dunia. Mata uangnya, kip telah terdepresiasi 30%, memperburuk kesengsaraan yang dihadapi negara ini. Kenaikan harga dan hilangnya pekerjaan karena pandemi mengancam akan memperburuk kemiskinan.
Lebanon
Lebanon menglami kondisi serupa Sri Lanka, yakni perpaduan jatuhnya mata uang, kekurangan cadangan devisa, tingkat inflasi yang melonjak,kelaparan yang meningkat, antrian yang mengular untuk gas, serta kelas menengah yang hancur. Negara ini juga mengalami perang saudara yang panjang membuat pemulihannya terhambat oleh disfungsi pemerintah dan serangan teror.
Usulan pajak pada akhir 2019 telah memicu kemarahan lama terhadap kelas penguasa dan protes berbulan-bulan. Mata uang Lebanon jatuh hingga 90% dan negara ini gagal membayar utang senilai US$90 miliar pada saat itu atau 170% dari PDB, salah satu yang tertinggi di dunia. Bank Dunia mengatakan krisis yang dialami Lebanon merupakan salah satu yang terburuk di dunia dalam lebih dari 150 tahun.
Myanmar
Pandemi dan ketidakstabilan politik telah menghantam ekonomi Myanmar, terutama setelah tentara merebut kekuasaan pada Februari 2021 dari pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi. Kondisi ini membawa sanksi Barat yang menargetkan kepemilikan komersial yang dikendalikan oleh tentara, yang mendominasi ekonomi.
Ekonomi Myanmar mengalami kontraksi sebesar 18% tahun lalu dan diperkirakan hampir tidak tumbuh pada tahun 2022. Lebih dari 700 ribu orang telah melarikan diri atau diusir dari rumah mereka oleh konflik bersenjata dan kekerasan politik. Situasinya sangat tidak pasti, pembaruan ekonomi global baru-baru ini dari Bank Dunia mengecualikan perkiraan untuk Myanmar untuk 2022-2024.
Pakistan
Seperti Sri Lanka, Pakistan telah melakukan pembicaraan mendesak dengan IMF, berharap untuk menghidupkan kembali paket dana talangan US$6 miliar yang ditunda setelah pemerintah Perdana Menteri Imran Khan digulingkan pada April. Melonjaknya harga minyak mentah mendorong naiknya harga bahan bakar yang pada gilirannya menaikkan biaya lainnya, mendorong inflasi hingga lebih dari 21%.
Seruan seorang menteri pemerintah untuk mengurangi minum teh guna mengurangi tagihan US$600 juta untuk teh impor membuat marah banyak orang Pakistan. Mata uang Pakistan, rupee telah jatuh sekitar 30% terhadap dolar AS pada tahun lalu.
Untuk mendapatkan dukungan IMF, Perdana Menteri Shahbaz Sharif telah menaikkan harga bahan bakar, menghapuskan subsidi bahan bakar dan memberlakukan "pajak super" baru 10% pada industri-industri besar untuk membantu memperbaiki keuangan negara yang compang-camping.
Pada akhir Maret, cadangan devisa Pakistan telah turun menjadi US$13,5 miliar, setara dengan hanya dua bulan impor.
Turki
Memburuknya keuangan pemerintah, serta meningkatnya defisit neraca perdagangan dan modal telah memperparah masalah Turki dengan utang yang tinggi dan meningkat. Inflasi Turki mencapai lebih dari 60%, dengan angka pengangguran yang sangat tinggi.
Bank Sentral terpaksa menggunakan cadangan devisa untuk menangkis krisis mata uang, setelah lira yang terkepung jatuh ke posisi terendah sepanjang masa terhadap euro dolar AS pada akhir tahun 2021.
Pemotongan pajak dan subsidi bahan bakar untuk meredam pukulan dari inflasi telah melemahkan keuangan pemerintah. Warga Turki berjuang untuk membeli makanan dan barang-barang lainnya, sementara utang luar negeri Turki mencapai sekitar 54% dari PDB, tingkat yang tidak berkelanjutan mengingat tingginya tingkat utang pemerintah.
Zimbabwe
Inflasi di Zimbabwe melonjak hingga lebih dari 130%, meningkatkan kekhawatiran negara tersebut dapat kembali ke hiperinflasi seperti tahun 2008 yang mencapai 500 miliar persen. Kondisi ini menumpuk masalah pada ekonominya yang sudah rapuh.
Zimbabwe berjuang untuk menghasilkan arus masuk yang memadai dari dolar AS yang dibutuhkan untuk ekonomi lokalnya yang sebagian besar dibiayai dengan dolar. Ekonomi negara ini telah terpukul oleh tahun-tahun deindustrialisasi, korupsi, investasi rendah, ekspor rendah dan utang tinggi.
Inflasi telah membuat warga Zimbabwe tidak mempercayai mata uang tersebut, menambah permintaan dolar AS. Dan banyak yang melewatkan makan karena mereka berjuang untuk memenuhi kebutuhan.