Sri Mulyani Bagi Pengalaman RI Selamat dari Pandemi Lewat Buku
Pembuat kebijakan di dalam negeri bersama sejumlah analis independen menyusun buku berisi perjalan penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia. Buku ini resmi diluncurkan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Rabu (13/10) di sela-sela pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia serta pertemuan keempat jalur keuangan G20 di Washington DC, Amerika Serikat.
Peluncuran buku bertajuk 'Keeping Indonesia Safe from The COVID-19 Pandemic: Lessons Learnt from the National Economic Recovery Programme' tersebut dihadiri juga oleh perwakilan dari IMF, World Bank Group, UNDP, Pemerintahan Amerika Serikat, Kedutaan Besar negara mitra, USINDO, akademisi, mahasiswa Indonesia dan jurnalis.
Buku ini memuat 17 bab dengan berbagai topik. Secara lebih ringkas, buku ini memuat kajian dampak pandemi dan evaluasi efektivitas stabilisasi fiskal, baik lewat kebijakan anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dan kebijakan fiskal countercyclical sepanjang periode pandemi 2020-2021.
Pada bagian akhir buku juga memuat kritik diri, membahas pro dan kontra dari tindakan yang diambil, pendekatan faktual-contrafactual, dan deskripsi batasan studi. Pada bagian ini menjelaskan bahwa tidak ada kebijakan yang sempurna, bahkan kebijakan terbaik pun tetap akan ada efek sampingnya.
Dalam sambutannya pada peluncuran kemarin, Sri Mulyani kembali mengingatkan terkait dampak besar pandemi yang mengubah kehidupan manusia. Pola hidup seperti cara bekerja dan beribadah juga berubah seiring pembatasan mobilitas. Walhasil, perubahan ini juga berimplikasi signifikan terhadap perekonomian.
“Pandemi ini mengubah hidup kita secara signifikan. Dari sudut pandang kebijakan publik, pandemi ini mengejutkan dan menakutkan bagi kita semua karena ini menjadi kejadian yang juga menuntut kita untuk berpikir dan merancang kebijakan,” kata Sri Mulyani dalam keterangan tertulisnya dikutip Kamis (13/10).
Sri Mulyani menyebut, dampaknya ke ekonomi mirip dengan dampak flu Spanyol satu abad lalu. Di samping menurunkan permintaan agregat, pandemi juga memukul penerimaan negara karena aktivitas ekonomi melambat.
Penerimaan negara tertekan saat pandemi, tetapi pengeluaran justru meningkat untuk menyerap goncangan di perekonomian. Kombinasi penurunan pendapatan tetapi belanja meningkat sehingga defisit anggaran yang juga melebar.
Sri Mulyani mengatakan, kondisi ini menimbulkan dilema bagi pemerintah Indonesia. Ini karena pada saat yang bersamaan pemerintah juga perlu membatasi defisit tidak boleh lebih dari 3%. Sebagai jalan keluar, pemerintah dan DPR kemudian sepakat menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) pengganti UU 1 tahun 2020 yang memperbolehkan defisit melebar lebih dari 3%. Namun ekspansi defisit tersebut dibatasi maksimal hanya sampai tiga tahun atau berakhir pada tahun ini.
Setelah tiga tahun defisit melebar, Sri Mulyani akan mengarahkan konsolidasi fiskal dengan membawa defisit anggaran turun di bawah 3% pada tahun depan. Adapun target defisit yang sudah disepakati dalam UU APBN 2023 yakni 2,84%,.