Cukai Minuman Berpemanis Makin Sulit Diterapkan Jika Mundur ke 2024
Rencana pemerintah meluncurkan kebijakan cukai baru untuk minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) dan plastik tak kunjung terealisasi. Pengamat menilai, pemerintah seharusnya mulai mengimplementasikannya di paruh pertama tahun ini untuk meminimalisasi risiko menerapkan kebijakan baru menjelang tahun politik.
Cukai MBDK dan plastik bukanlah barang baru. Rencana kebijakan ini sudah menjadi wacana beberapa tahun terakhir. Pemerintah bahkan sudah memasang target penerimaan dari cukai produk plastik sebesar Rp 980 miliar dan cukai MBDK Rp 3,08 triliun dalam APBN 2023. Namun, ini tak serta merta membuat kebijakan ini pasti diimplementasikan tahun ini.
"Kami lihat dulu perkembangan ekonomi nasional dan global di tahun 2023. Kalau melihat sekarang baru Januari. belum bisa lihat kondisi riil 2023 yang valid," kata Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Askolani dalam pesan singkat, Kamis (12/1).
Hal serupa sebetulnya sudah berulangkali disampaikan Askolani beberapa bulan terakhir. Meski tidak secara spesifik menyebut cukai berpemanis dan plastik belum akan meluncur tahun ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Oktober 2022 memberikan sinyal kemungkinan kembali ditundanya kebijakan ini. Menurut dia, pihaknya sedang tidak mempertimbangkan untuk mengubah kebijakan di bidang fiskal.
Pengamat pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai, pemerintah seharusnya sudah mengimplementasikan cukai MBDK dan plastik pada awal tahun ini. Menurut dia, terlalu berisiko bagi pemerintah jika implementasinya baru digelar paruh kedua tahun ini memgingat terlalu dekat dengan tahun Pemilu 2024.
"Secara politik, butuh keberanian lebih, kecuali pemerintah dapat mengemasnya menjadi sebuah kebijakan yang populis," kata Fajry dihubungi melalui pesan singkat whatsapp, Jumat (13/1).
Ia menilai, pemerintah perlu mempersiapkan lebih matang dari sisi administras, termasuk mensosialisasikan kebijakan tersebut kepada dunia usaha. Besaran tarif bisa menyesuaikan dengan besaran elastisitasnya, yakni tarif yang dikenakan tidak terlalu tinggi jika elastsitasnya juga tinggi.
Ia juga menyarankan bukan hanya minuman dalam kemasan produksi pabrik yang dikenakan cukai tetapi juga jenis minuman dan makanan yang di produksi retail. Namun, menurut dia, perlu juga penerapan prinsip de minimis dengan adanya batasan omzet agar produk minuman pemanis retail tidak memberatkan UMKM dan untuk kepentingan kemudahan administrasi.
Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji menilai, implementasi cukai baru tersebut perlu memperhatikan aspek situasi ekonomi ke depan di tengah tingginya ketidakpastian. Ia beralasan kedua produk tersebut merupakan sektor usaha yang cukup penting.
"Kedua industri juga memiliki keterkaitan ekonomi yang tinggi dengan berbagai sektor lain dalam perekonomian sehingga mekanisme harga berpotensi memengaruhi produksi, laba usaha, hingga pajak yang disetor pemerintah," kata Bawono.
Ia menilai pemerintah perlu memperhitungan segala aspek secara menyeluruh dalam menerapkan kebijakan cukai minuman berpemanis dan plastik. Penerapan kebijakan cukai bari ini tidak boleh diberatkan pada upaya mendongkrak penerimaan negara, tetapi menekan konsumsi dan mengurangi eksternalitas negatifnya baik terhadap kesehatan maupun lingkungan.
Selain itu, desain ketentuannya juga perlu disusun dengan memperhatikan berbagai aspek. Hal ini termasuk ruang lingkup produk yang dikenakan, struktur tarif, threshold, beserta proses bisnis dan administrasi pengawasannya.