Anak Buah Luhut Beberkan Kesalahan Faisal Basri saat Kritik Hilirisasi
Ekonom senior Faisal Basri mengkritik kebijakan hilirisasi Presiden Joko Widodo yang dianggap memberikan banyak keuntungan bagi Cina dibandingkan negara sendiri dengan memaparkan sejumlah data pendukung. Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Septian Hario Seto menyebut data-data yang disebutkan Faisal Basri tak menyeluruh sehingga menghasilkan kesimpulan yang salah.
Kritik Faisal Basri pertama kali diungkapkan dalam Kajian Tengah Tahun INDEF pada Selasa (8/8). Saat itu, ia menyebut kebijakan hilirisasi Jokowi tak memberikan banyak keuntungan bagi perekonomian di dalam negeri karena memberikan terlalu banyak insentif. Ia pun menilai kebijakan hilirisasi nikel hanya memberikan keuntungan yang sangat besar bagi Cina yang paling banyak menjadi investor smelter nikel.
Kritik Faisal Basri kemudian ditanggapi oleh Presiden Joko Widodo. Jokowi sempat menyebutkan, hilirisasi telah mendongkrak ekspor hingga berkali lipat. Ia pun menyebut nilainya pada tahun lalu mencapai Rp 510 triliun.
Jawaban Jokowi tak memuaskan Faisal Basri. Melalui akun miliknya, ia menyebut angka-angka Jokowi tidak jelas sumber dan hitung-hitungannya. Faisal Basri pun membagikan sejumlah data dan hitung-hitungan terkait kebijakan hilirisasi nikel yang ia anggap lebih banyak menguntungkan Cina.
Dalam tulisan yang diunggah Faisal Basri pada Jumat (11/8), ia menekankan bahwa kebijakan hilirisasi Jokowi tidak mendukung industrialisasi di dalam negeri dan justru mendukung industrialisasi di Cina.
Kemenkomarves: Tuduhan Faisal Basri soal Hilirisasi Nikel Menguntungkan Cina Salah
Tuduhan Faisal Basri dijawab oleh Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Septian Hario Seto. Seto juga membeberkan sejumlah data untuk membuktikan tuduhan Faisal Basri Salah.
Dalam catatan Seto yang dibagikan kepada media pada akhir pekan lalu, ada lima klaim Faisal Basri di dalam artikel yang ditulis Faisal Basri tidak tepat. Berikut penjelasannya:
- Angka ekspor produk hilirisasi nikel Rp 510 triliun yang disampaikan Presiden Jokowi salah
Menurut Seto, kesalahan utama Faisal Basri yang menuduh angka jokowi tidak jelas perhitungannya adalah tidak update terhadap perkembangan hilirisasi di Indonesia. Faisal hanya memasukkan angka ekspor besi dan baja senilai US$ 27,8 miliar atau Rp 413,9 triliun. Padahal, menurut Seto, hilirisasi nikel juga memproduksi bahan lithium baterai seperti nickel matte dan Mixed Hydrate Precipitate (MHP) yang tergabung dalam HS Code 75 dengan nilai US$3,8 miliar dan US$ 2,1 miliar. Selain itu masih ada beberapa turunan nikel lainnya sehingga jika dijumlah mencapai US$ 34,3 miliar atau Rp 510,1 triliun. Ia pun menyebut penjelasan Jokowi soal nilai Rp 510 triliun benar. - Pemerintah mendapatkan pajak dan penerimaan negara yang lebih kecil dengan melarang ekspor bijih nikel
Seto menilai Faisal Basri tak memahami ketentuan tax holiday saat menuduh negara menerima pendapatan negara yang kecil akibat pelarangan ekspor bijih nikel karena para smelter tersebut mendapatkan tax holiday 20 tahun. Ia menjelaskan, tax holiday 20 tahun hanya diberikan untuk investasi sebesar Rp 30 triliun atau lebih. Jika kurang dari itu, menurut dia, insentif tax holiday akan menyesuaikan periodenya, antara 5-15 tahun. "Insentif tax holiday ini hanya untuk PPh Badan, pajak-pajak lainnya tetap harus dibayar," kata Seto.
Ia menyebutkan, rata-rata perusahaan smelter memperoleh tax holiday selama 7-10 tahun berdasarkan data 2018-2020. Hanya ada 2 yang memperoleh 20 tahun, di mana saat ini hanya satu yang beroperasi. Masih ada banyak juga smelter yang tidak memperoleh tax holiday karena tidak memenuhi persyaratan selain nilai investasi. Selain itu, mereka harus membayar pajak sesuai ketentuan setelah tax holiday berakhir.
"Untuk smelter-smelter yang dibangun periode 2014-2016 dan memperoleh tax holiday selama tujuh tahun, saat ini sudah mulai membayar PPh Badan," kata dia.
Seto menyebut, penerimaan perpajakan tahun 2022 dari sektor hilirisasi nikel adalah Rp 17.96 triliun, atau naik sebesar 10.8 kali dibandingkan 2016 sebesar Rp 1.66 triliun. Pendapatan PPh Badan pada tahun lalu dari sektor tersebut juga naik berkali lipat dari Rp 0,34 triliun pada 2016 menjadi Rp 7,36 triliun pada 2022.
Adapun jika kebijakan ekspor bijih nikel tetap dilakukan dengan menggunakan data 2019, menurut dia, pendapatan pajak ekspor hanya US$ 0.11 miliar atau Rp 1,55 triliun. Jumlah ini hanya 10% dari nilai ekspor bijih nikel sebesar US$ 1.1 miliar. Angka tersebut juga tetap lebih kecil jika dibandingkan dengan pendapatan pajak dari sektor hilirisasi nikel sebesar Rp 3.99 triliun pada 2019. - Pemerintah memberikan harga bijih nikel ”murah” kepada para smelter
Ia juga membantah tuduhan tersebut, Menurut Seto, Faisal seharusnya memahami hukum penawaran dan permintaan yang juga berlaku pada bijih nikel. Saat pemerintah melakukan pelarangan ekspor tahun 2020-saat ini, hukum tersebut berlaku. harga internasional naik karena suplai bijih nikel dari Indonesia hilang, sehingga smelter-smelter nikel di Tiongkok hanya mengandalkan suplai dari Filipina dan beberapa negara lain.
Ini artinya, menurut dia, harga internasional pasti turun jika ekspor bijih nikel indonesia kembali dibuka karena supply bertambah dari Indonesia. Dengan demikian perbedaan antara harga nikel internasional dengan HPM pasti akan lebih kecil. Ia pun membandingkan harga ekspor bijih nikel periode tahun 2018-2019, ketika ekspor bijih nikel masih dilakukan, dengan HPM Nikel di periode yang sama. Berdasarkan data yang diperoleh, selisih antara harga ekspor dengan harga HPM dengan grade 1.7% dan MC 35% hanya US$ 5.5/ton dan US$ 6.9/ton masing-masing 2018 dan 2019. "Selisih ini, berdasarkan temuan kami pada waktu itu, ada sebagian disebabkan karena kualitas bijih nikel yang diekspor melebihi 1.7% atau batas maksimum kualitas ekspor saat itu," kata dia. - Nilai tambah hilirisasi nikel 90% dinikmati investor Tiongkok
Seto juga menyebut pola pikir Faisal Basri tentang nilai tambah yang dinikmati investor Tiongkok salah. Menurut dia, jika ekspor bijih nikel ini terus dilakukan, maka nilai manfaat dari bijih nikel yang kita miliki 100% dinikmati oleh negara lain. Tidak ada pajak dan penambahan tenaga kerja yang tercipta di Indonesia.
Ia pun memberikan analisis secara keseluruhan terkait nilai tambah hilirisasi nikel. Menurut dia, dari 100% nilai produk smelter, kontribusi bijih nikel adalah 40%, 12% laba operasi yang bisa dinikmati investor (asumsi mendapatkan tax holiday), dan 48% adalah sumber daya tambahan yang perlu dikeluarkan untuk mengolah bijih nikel tersebut.
Dari 48% angka tersebut, menurut dia, 32% dinikmati oleh para pelaku ekonomi di dalam negeri dalam bentuk batu bara untuk listrik, tenaga kerja, dan bahan baku lain. Hanya 16% yang dinikmati oleh pihak supplier dari luar negeri. Berdasarkan hitungan tersebut, nilai tambah yang dinikmati oleh pihak LN (investor dan supplier) adalah 16% ditambah komponen laba operasi 12%, sehingga menjadi 28%.
"Dengan demikian, nilai tambah yang dinikmati oleh dalam negeri adalah 32% atau secara proporsi mencerminkan sekitar 53% (32% dibagi 32%+12%+16) dari seluruh nilai tambah hilirisasi nikel," kata dia. - Kebijakan hilirisasi nikel tidak menimbulkan pendalaman industri karena kontribusi industri pengolahan terhadap PDB justru menurun.
Terkait kritik soal pendalaman industri, Seto menekankan bahwa semuanya membutuhkan proses. Menurut dia, konsistensi hilirisasi nikel ini membuat indonesia mampu menarik investasi-investasi baru dalam bidang baterai lithium. Nikel kadar rendah kita yang sebelumnya tidak dipakai, menurut dia, bisa diproses menjadi Mixed Hydrate Precipitate (MHP) yang merupakan bahan baku utama baterai lithium. "Bayangkan barang yang tadinya hanya sampah, saat ini bisa diproses menghasilkan bahan baku lithium baterai. Pastinya nilai tambahnya sangat besar,: kata dia.
Namun, ia menekankan bahwa dibutuhkan ekosistem industri yang kompleks untuk membuat baterai lithium. Menurut dia, yang dibutuhkan bukan hanya nikel, tetapi juga produk hilirisasi cobalt, aluminum, tembaga, lithium dan lain-lain. Tidak semuanya ada di Indonesia bahan bakunya. "Ekosistem inilah yang saat ini sedang kita bangun di Indonesia. Semuanya sedang berproses dan tidak mudah," kata dia.
Seto pun menekankan bahwa sebagai Deputi Investasi dan Pertambangan di Kemenkomarves, saya banyak bertemu dengan berbagai macam investor baik dari sektor keuangan ataupun pemain dalam industrinya. Dari berbagai pertemuan tersebut, semuanya menyatakan apresiasi atas transformasi struktural melalui hilirisasi nikel ini. Tidak sedikit yang menyampaikan minatnya untuk melakukan investasi tambahan meskipun bukan dalam sektor nikel. Pemerintah saat ini juga sedang memproses investasi strategis dalam bidang petrokimia, solar panel dan fiberglass.
Ia mengatakan, dunia internasional mengapresiasi kebijakan hilirisasi yang dilakukan Jokowi. Dalam pertemuan dengan Managing Director IMF Kristalina Georgieva, menurut dia, Georgieva menyampaikan apresiasi terhadap program hilirisasi nikel yang sudah dilakukan oleh Pemerintah yang sudah berkontribusi signifikan terhadap perekonomian dan stabilitas makro Indonesia. Georgieva juga menyampaikan permintaan maaf kepada Pemerintah Indonesia terkait laporan IMF yang keluar baru-baru ini yang ternyata menimbulkan polemik di Indonesia.
"Jika dunia internasional saja mengapresiasi upaya Presiden Jokowi melakukan hilirisasi ini, sangat disayangkan masih ada orang-orang di dalam negeri yang mengkritik tanpa dasar, apalagi sampai bilang Presiden Jokowi menyampaikan data yang menyesatkan," ujarnya.