Mewujudkan Pertumbuhan Hijau dan Inklusif di Bumi Cendrawasih

Katadata
Petani kakao Papua
Penulis: Tim Publikasi Katadata - Tim Publikasi Katadata
25/2/2020, 18.57 WIB

Namun,serangan hama busuk buah kakao dan  manajemen yang kurang baik mengakibatkan perusahaan PT Cokran Ransiki di Manokwari Selatan mengalami kebangkrutan yang berimbas pada pendapatan petani kakao. Kini perkebunan kakao berusaha diremajakan kembali oleh mantan karyawannya yang membentuk Koperasi Eiber Suth Cokran. "Kami bantu beri suntikan dana Rp10 miliar yang diberikan secara bertahap," kata Markus.

Ia menjelaskan perusahaan Cokran yang telah tutup mengelola lahan cokelat seluas 4.659 ha. Dari jumlah tersebut baru 200 ha yang diremajakan, sisanya secara bertahap dilakukan pembenahan. Dalam waktu dekat ada 260 ha lahan lagi yang akan dibenahi. Mantan karyawan Cokran yang mengelola 200 ha lahan ini bisa menghasilkan 60 ton kakao per bulan. Pembeli pun berdatangan, setelah mengetahui kualitas kakao Ransiki, salah satunya adalah Pipiltin Cocoa dari Jakarta.

Mereka mengambil contoh biji kakao terfermentasi dan mencoba mengolahnya menjadi produk cokelat kualitas premium. Prosesnya tak sebentar untuk menentukan layak tidaknya pengembangan kakao Ransiki. Dibutuhkan waktu sekitar satu tahun untuk mengukur konsistensi, kualitas, dan tingkat produksi cokelat yang dihasilkan.

Irvan Helmi, salah satu pendiri Pipiltin dan Anomali Coffee, menuturkan, dia mengenal kakao Ransiki dari Yayasan Inisiatif Dagang Hijau (Yayasan IDH). Setelah dicoba, ternyata rasanya memang enak. “Pertama bean count-nya bagus, bijinya gede-gede. Terus aromanya tuh unik, flavour-nya juga spesifik,” kata Irvan. Tak cuma rasanya yang unik, tapi ada ‘kisah’ cokelat Ransiki yang bisa jadi bahan jualan Pipiltin. “Jadi kami bercerita tentang single origin-nya, tentang petani-petaninya, tentang konservasi hutannya, tentang burung Vogelkop.”

Ada barang bagus, ada kisah menarik, maka jadilah kerja sama antara Pipiltin dengan komunitas pekebun kakao Ransiki. Bagi Irvan, hubungan Pipiltin dengan petani kakao Ransiki merupakan hubungan bisnis yang saling menguntungkan, bukan suatu kerja sosial. Petani kakao mendapatkan harga beli yang layak  untuk hasil kebunnya, Pipiltin memperoleh  untung. Kini, Ransiki semakin dikenal dunia internasional setelah Biji Kakao Trading, pembeli lain, melakukan ekspor perdana enam ton biji kakao ke Inggris pada awal 2020.

Visi Papua 2100 dan Kopi Wamena

Sekitar sepertiga hutan primer yang tersisa di Indonesia, terdapat di Provinsi Papua dan Papua Barat. Menurut Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Papua 2019-2023, tutupan hutan yang masih utuh dengan luas mencapai 32 juta ha memiliki keanekaragaman hayati sangat tinggi, diantaranya 602 jenis burung, 223 jenis mamalia, 223 jenis reptil, dan 1.030 jenis tumbuhan.. Aset sangat bernilai ini tentu harus dijaga.

Pada Oktober 2018, Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat menandatangani nota kesepahaman penyamaan visi pembangunan berkelanjutan. Jika Papua Barat memiliki Perdasus Provinsi Pembangunan Berkelanjutan, Provinsi Papua juga memiliki rencana pembangunan berkelanjutan yang tertuang dalam Visi Papua 2100.

Freddy Moele, Kepala Bidang Ekonomi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Papua, mengatakan pembangunan di Papua harus tetap menjaga keseimbangan hidup antara manusia dengan alam sekitarnya. “Mimpi kami, supaya orang Papua tetap hidup dengan alamnya, dengan apa yang mereka punya,” kata Freddy. Salah satu target dari Visi Papua 2100 adalah rasio 70-30, yakni mempertahankan tutupan hutan 70 persen dari wilayah Provinsi Papua. “Sisanya, 30 persen itu yang bisa dimanfaatkan.”

Salah satu bentuk pemanfaatan lahan secara berkelanjutan di Papua adalah perkebunan kopi di dataran tinggi Jayawijaya. Namun masih ada sejumlah persoalan dalam pengembangan kopi Jayawijaya ini. “Persoalan kami yang mendasar adalah keberlanjutan. Pada saat investasi masuk, kalau petani tidak bisa menjamin dapat sekian produksinya dalam sebulan, maka investor akan mundur,” kata Freddy. Masalah kedua adalah rantai perdagangan. “Banyak tengkulak yang masuk sampai ke rumah-rumah. Itu yang tidak terdeteksi dengan baik.”

Lantaran dikembangkan di dataran tinggi di atas rata-rata daerah lain, menurut Irvan, kopi Wamena – salah satu kopi dari dataran Jayawijaya - punya ciri khas tersendiri. Unik dan enak. “Kopi-kopi Papua itu nggak earthy. Dia itu lebih ke fruity, floral. Ada wangi bunga-bungaan,” Irvan menuturkan. Dulu, Anomali pernah membeli kopi-kopi dari Papua, terutama kopi Wamena. Tapi dalam beberapa bulan terakhir, tak ada lagi kopi Papua di Anomali.

Bukan rasa yang jadi soal. “Saya ngerasa, kok susah sekali beli kopi Papua,” ujar Irvan. Bukan lantaran tak ada lagi kopi Papua dan pedagangnya. Anomali, menurut dia, tak membeli kopi dari pedagang atau tengkulak. Anomali selalu membeli langsung kopi ke koperasi petani, sehingga asal-usul kopinya bisa dilacak. Namun ada masalah ‘komunikasi’ yang membuat Anomali memutuskan ‘mundur’ dari Papua. “Kopi-kopinya enak banget, rasanya enak banget. Tapi pelaku usaha, koperasi petani dan pemerintah daerah perlu berkomunikasi intens untuk memastikan dealing business jangka panjang berjalan mulus.”

Berbagai tantangan memang masih dihadapi dalam pengembangan komoditas unggulan di Bumi Cendrawasih. Meski demikian, tantangan tersebut perlahan mulai teratasi melalui komitmen serius kedua provinsi dalam mewujudkan rencana pertumbuhan hijau dan inklusif di wilayahnya. " Konsep pembangunan berkelanjutan itu, bagaimana kita menjaga hutan, bagaimana kita menjaga alam ini tetap menyediakan makan bagi mereka. Jangan sampai habis. Keseimbangan itu yang kita jaga," ujar Freddy.

Halaman: