Mengenal Tradisi Tabuik Khas Masyarakat Pariaman

ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/hp.
Pengunjung menyaksikan dua tabuik dibuang ke laut, di Pantai Gandoriah Pariaman, Sumatera Barat, Minggu (14/8/2022). Berdasarkan data Pemkot Pariaman, sekitar dua ratusan ribu pengunjung memadati kawasan pantai tersebut menyaksikan prosesi Tabuik Dibuang ke Laut, dalam rangkaian Pesona Hoyak Tabuik Budaya Piaman 2022 memperingati hari wafatnya cucu Nabi Muhammad SAW, Hussein bin Ali sekaligus atraksi budaya dan pariwisata tahunan paling ramai di provinsi itu.
Penulis: Tifani
Editor: Intan
19/9/2022, 12.00 WIB

Tradisi Tabuik merupakan salah satu tradisi yang digelar oleh Masyarakat Pariaman, Sumatera Barat. Tradisi ini menjadi acara tahunan yang disebut sebagai festival Tabuik. Tradisi Tabuik ini telah berlangsung sejak puluhan tahun lalu dan diperkirakan telah ada sejak abad ke-19 masehi.

Perhelatan Tradisi Tabuik merupakan bagian dari peringatan hari wafatnya cucu Nabi Muhammad SAW, yaitu Hussein bin Ali yang jatuh pada tanggal 10 Muharram. Sejarah mencatat, Hussein beserta keluarganya wafat dalam perang di padang Karbala.

Dilansir dari Jurnalbpnbsumbar.kemdikbud.go.id, Tradisi Tabuik diambil dari bahasa arab ‘tabut’ yang bermakna peti kayu. Nama tersebut mengacu pada legenda tentang kemunculan makhluk berwujud kuda bersayap dan berkepala manusia yang disebut buraq.

Cerita legenda tersebut mengisahkan bahwa setelah wafatnya sang cucu Nabi, Hussein bin Ali, kotak kayu berisi potongan jenazah Hussein diterbangkan ke langit oleh buraq. Berdasarkan legenda inilah, setiap tahun masyarakat Pariaman membuat tiruan dari buraq yang sedang mengusung tabut di punggungnya.

Menurut kisah yang berkembang di masyarakat secara turun temurun, Tradisi Tabuik ini diperkirakan muncul di Pariaman sekitar tahun 1826-1828 Masehi. Tradisi Tabuik pada masa itu masih kental dengan pengaruh dari timur tengah yang dibawa oleh masyarakat keturunan India penganut Syiah. Pada tahun 1910, muncul kesepakatan antar nagari untuk menyesuaikan perayaan Tabuik dengan adat istiadat Minangkabau, sehingga berkembang menjadi seperti yang ada saat ini.

Tradisi Tabuik terdiri dari dua macam, yaitu Tabuik Pasa dan Tabuik Subarang. Keduanya berasal dari dua wilayah berbeda di Kota Pariaman. Tabuik Pasa (pasar) merupakan wilayah yang berada di sisi selatan dari sungai yang membelah kota tersebut hingga ke tepian Pantai Gandoriah.

Wilayah Pasa dianggap sebagai daerah awal mula Tradisi Tabuik. Adapun tabuik subarang berasal dari daerah subarang (seberang), yaitu wilayah di sisi utara dari sungai atau daerah yang disebut sebagai Kampung Jawa.

Perjalanan Tradisi Tabuik

Awalnya, Tradisi Tabuik hanya ada satu, yaitu Tabuik Pasa. Sekitar tahun 1915, atas permintaan segolongan masyarakat, dibuat sebuah tabuik yang lain. Atas kesepakatan para tetua nagari, tabuik harus dibuat di daerah seberang Sungai Pariaman. Alhasil, tabuik kedua diberi nama tabuik subarang.

Salah satu riwayat sesepuh masyarakat mencatat kejadian tersebut diperkirakan terjadi pada 1916, tetapi ada pula riwayat yang menyebutkan pada 1930. Pembuatan tabuik subarang tersebut tetap mengikuti tata cara yang sebelumnya telah berlaku di wilayah Pasa.

Sejak 1982, perayaan tabuik dijadikan bagian dari kalender pariwisata Kabupaten Padang Pariaman. Karena itu terjadi berbagai penyesuaian salah satunya dalam hal waktu pelaksanaan acara puncak dari rangkaian ritual tabuik ini. Jadi, meskipun prosesi ritual awal tabuik tetap dimulai pada tanggal 1 Muharram, saat perayaan tahun baru Islam, tetapi pelaksanaan acara puncak dari tahun ke tahun berubah-ubah, tidak lagi harus pada tanggal 10 Muharram.

Rangkaian Tradisi Tabuik di Pariaman terdiri dari tujuh tahapan ritual tabuik, yaitu mengambil tanah, menebang batang pisang, mataam, mengarak jari-jari, mengarak sorban, tabuik naik pangkek, hoyak tabuik, dan membuang tabuik ke laut.

Prosesi mengambil tanah dilaksanakan pada 1 Muharram. Menebang batang pisang dilaksanakan pada hari ke-5 Muharram. Mataam pada hari ke-7, dilanjutkan dengan mangarak jari-jari pada malam harinya. Pada keesokan harinya dilangsungkan ritual mangarak saroban.

Pada hari puncak, dilakukan ritual Tradisi Tabuik naik pangkek, kemudian dilanjutkan dengan hoyak tabuik. Hari puncak ini dahulu jatuh pada tanggal 10 Muharram, tetapi saat ini setiap tahunnya berubah-ubah antara 10-15 Muharram, biasanya disesuaikan dengan akhir pekan. Sebagai ritual penutup, menjelang maghrib tabuik diarak menuju pantai dan dilarung ke laut.

Setiap tahunnya puncak gelaran Tradisi Tabuik selalu disaksikan puluhan ribu pengunjung yang datang dari berbagai pelosok Sumatera Barat. Tidak hanya masyarakat lokal saja, tradisi ini pun mendapat perhatian dari banyak turis asing yang membuatnya menjadi perhelatan besar yang ditunggu-tunggu setiap tahunnya. Pantai Gandoriah yang menjadi titik pusat perhatian seakan menjadi lautan manusia, khususnya menjelang prosesi tabuik diarak menuju pantai.