Tradisi Rebo Wekasan, Sejarah dan Peringatannya di Berbagai Daerah

ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/foc.
Ilustrasi, warga mengikuti prosesi Kirab Tradisi Rabu Wekasan di Desa Jepang, Mejobo, Kudus, Jawa Tengah, Selasa (20/9/2022).
Penulis: Tifani
Editor: Agung
20/9/2022, 22.07 WIB

Rebo Wekasan, atau Rabu Pungkasan dalam Bahasa Indonesia, merupakan sebuah tradisi yang digelar Masyarakat Jawa, Sunda, dan Madura. Seperti namanya, tradisi ini akan digelar setiap hari Rabu terkahir pada bulan Safar dalam kalender Islam atau Hijriyah. Pada 2022, Rabu Wekasan jatuh pada Rabu, 21 September 2022.

Rebu Wekasan dipercaya sebagai hari paling sial bagi sebagian orang, maka diperlukan tirakat atau usaha untuk mencegah kesialan terjadi. Kegiatan yang biasanya dilakukan untuk memperingati tradisi ini dapat beragam, mulai dari tahlilan, zikir bersama, menggelar salat sunah, atau bahakan berbagi makanan yang dipercaya dapat menolak bala.

Bagi umat Islam, tradisi ini dipercaya sebagai hari pertama Nabi Muhammad SAW jatuh sakit dan kemudian meninggal dunia.

Sekilas tentang Tradisi Rebo Wekasan

Mengutip laman islam.nu.or.id, tradisi Rebo Wekasan pertama kali diadakan pada zaman kejayaan Wali Songo. Kala itu, banyak ulama yang menyebutkan bahwa pada bulan Safar, ada lebih dari 500 macam penyakit yang turun ke bumi.

Sebagai antisipasi datangnya penyakit dan agar terhindar dari musibah, para ulama pun melakukan tirakatan dengan banyak beribadah dan berdoa. Kegiatan tersebut bertujuan agar mereka dijauhkan dari segala penyakit dan malapetaka yang dipercaya turun pada Rabu terakhir di bulan Safar.

Hingga kini, tradisi tersebut masih dilestarikan oleh sebagian umat Islam di Indonesia dengan sebutan Rebo Wekasan atau Rabu Pungkasan.

Namun ada pula pendapat lain yang menyatakan bahwa tradisi Rebo Wekasan baru muncul pada awal abad ke-17 di Aceh, Sumatera, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku.

Tradisi Rebo Wekasan juga diadakan oleh sebagian masyarakat di berbagai wilayah Indonesia. Rebo Wekasan di Aceh dikenal dengan istilah Makmegang.

Makmegang digelar dengan berdoa di tepi pantai dipimpin oleh seorang Teungku, dan diikuti oleh tokoh agama, tokoh masyarakat, dan berbagai elemen warga Aceh.

Di Jawa, tradisi Rebo Wekasan biasanya dilakukan oleh masyarakat pesisir pantai dengan caranya masing-masing. Misalnya di Banten dan Tasikmalaya, tradisi Rebo Wekasan dilakukan dengan melaksanakan shalat khusus bersama pada pagi hari di Rabu terakhir bulan Safar.

Di Banyuwangi, tradisi Rebo Wekasan diperingati dengan mengadakan tradisi petik laut di Pantai Waru Doyong. Selain itu, ada pula tradisi Rebo Wekasan di Banyuwangi yang diadakan dengan cara makan nasi yang dibuat secara khusus di tepi jalan.

Di Kalimantan Selatan, tradisi Rebo Wekasan disebut Arba Mustamir, yang diadakan dengan berbagai cara, seperti shalat sunah dan disertai doa tolak bala. Selain itu, ada juga selamatan kampung dengan tidak bepergian jauh, tidak melanggar pantangan, hingga mandi Safar untuk membuang sial.

Tradisi Rebo Wekasan juga diperingati secara meriah di Wonokromo, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Tradisi ini dilakukan dengan membuat lemper raksasa dan dibagikan kepada masyarakat yang menghadiri acara ini.

Sejarah di Balik Tradisi Rabu Wekasan

Mengutip Kemendikbud.go.id, sejarah hadirnya tradisi Rebo Wekasan di Yogyakarta tercatat ada dua versi berbeda.

Versi pertama, Rebo Wekasan disebut sudah ada sejak 1784. Saat itu, hidup tokoh bernama Mbah Faqih Usman atau yang dikenal sebagai Kyai Wonokromo Pertama atau Kyai Welit.

Masyarakat meyakini bahwa Kyai mampu mengobati penyakit dengan metode membacakan ayat Al Quran pada segelas air dan diminumkan kepada pasien.

Kemampuan Mbah Kyai Faqih semakin menyebar, hingga terdengar oleh Sri Sultan Hamengkubuwana I. Untuk membuktikan kemampuan tersebut, Sri Sultan Hamengkubuwana I mengutus empat prajurit untuk membawa Mbah Kyai Faqih menghadap ke keraton.

Ternyata, ilmu Mbah Kyai terbukti dan mendapat sanjungan. Sepeninggal Mbah Kyai Faqih, masyarakat pun meyakini bahwa mandi di pertempuran Kali Opak dan Kali Gajahwong dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan mendatangkan berkah.

Versi kedua, upacara Rebo Wekasan tidak lepas dari Sultan Agung, penguasa Mataram, yang dulu pernah memiliki keraton di Pleret. Upacara adat ini mulai diselenggarakan sekitar 1600.

Kala itu, Mataram terjangkit pagebluk atau wabah penyakit. Kemudian, diadakanlah ritual untuk menolak bala pagebluk. Ritual tersebut dilaksanakan oleh Kyai Welit, dengan membuat tolak bala berwujud rajah bertuliskan basmalah dalam aksara arab sebanyak 124 baris.

Rajah tersebut dibungkus dengan kain mori putih dan dimasukkan ke dalam air, kemudian diminumkan pada orang yang sakit. Lantaran khawatir air tak cukup, akhirnya Sultan Agung memerintahkan agar air dengan rajah sisa rajah tersebut dituangkan ke dalam Kali Opak dan Gajahwong.