Utang Rp 58 T Cair, Inalum Tunggu Freeport Bereskan Isu Lingkungan

ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
Area pengolahan mineral PT Freeport Indonesia di Tembagapura, Papua.
16/11/2018, 16.18 WIB

Pembayaran saham divestasi PT Freeport Indonesia (PTFI) masih harus menunggu waktu, meski PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) (Persero) telah mencairkan dana pinjaman dari penerbitan surat utang atau global bond. Penyebabnya adalah isu lingkungan yang menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin mengatakan transaksi jual beli saham Freeport akan terealisasi setelah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). IUPK ini akan keluar setelah PT Freeport Indonesia menyelesaikan permasalahan lingkungan.

Untuk menyelesaikan itu, menurut Budi, Freeport tengah berdiskusi dengan Kementerian ESDM dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). “Nanti kalau sudah selesai kami bayar,” kata Budi di Jakarta, Jumat (16/11).

Budi mengatakan dari sisi Inalum, dana untuk membayar divestasi itu sudah tersedia. Dana itu berasal dari penerbitan global bond sebesar US$ 4 miliar. Utang tersebut memiliki tenor dan bunga yang berbeda-beda.

Perincian utang tersebut yakni US$ 1 miliar dengan bunga 5,230% dan jangka waktu 2021. Kemudian, US$ 1,25 miliar yang akan jatuh tempo 2023 dengan bunga 5,710%. Lalu, utang US$ 1 miliar yang memiliki bunga 6,530% dengan jatuh tempo 2028. Ada juga yang jatuh temponya 2048 dengan nominal US$ 750 juta dan bunga 6,757%.

Utang tersebut sudah cair dan menambah aset Inalum.  "Aset kami awalnya Rp 100 triliun, tapi kemarin malam tambah jadi Rp 160 triliun. Ini karena kami terima tunai US$ 4 miliar tadi malam," kata Budi.  

Menurut Budi, bond ini merupakan yang terbesar dalam sejarah Republik Indonesia dan urutan keenam untuk penerbitan di seluruh dunia pada 10 tahun terakhir. Bahkan, ada kelebihan permintaan (oversubscribe) lima kali lipat. Padahal, menerbitkan bond itu tidak mudah.

Adapun, alasan Inalum memilih menerbitkan bond daripada pinjam dari perbankan karena tingkat bunganya yang tetap. Jika menggunakan pinjaman perbankan, bunganya mengikuti London Interbank Offered Rate (Libor) dan trennya sekarang naik. “Jadi kami ingin fix-kan karena takutnya naik,” ujar Budi.

Kedua, kalau pinjam dari perbankan  harus ada cicilan pokoknya setiap enam bulan atau setiap tahun. Kalau dalam bentuk obligasi kan pokoknya dibayarnya diujung, jadi secara arus kas (cashflow) lebih bagus.

Adapun jumlah yang harus dibayar Inalum ke PT Freeport Indonesia sebesar US$ 3,85 miliar. Perinciannya sebanyak US$ 3,5 miliar dialokasikan untuk pembayaran hak partisipasi Rio Tinto dan US$ 350 juta untuk Indocopper.