Cegah Kasus Hukum, Proyek PLTS Cirata Butuh Aturan Penunjukan Langsung

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
ilustrasi.
13/11/2018, 12.56 WIB

Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terapung Cirata di Jawa Barat saat ini belum berjalan mulus. Salah satu penyebabnya adalah ganjalan dari segi regulasi. Hingga kini belum ada regulasi yang mengatur mengenai penunjukan langsung mitra untuk proyek pembangkit listrik.

Regulasi ini dibutuhkan untuk memberikan kepastian investasi tidak bermasalah secara hukum. Apalagi beberapa proyek pembangkit listrik juga terjerat kasus hukum.

Salah satunya adalah proyek yang bermasalah adalah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Riau. “Jangan nanti ada masalah. Tidak hanya di PLTU Riau 1, tapi juga waktu Fast Track Program 1 itu kami kena bully,” kata Direktur Bisnis Regional Jawa Bagian Timur, Bali dan Nusa Tenggara PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) (Persero), Djoko Rahardjo Abu Manan kepada Katadata.co.id, Selasa (13/11).

Menurut Djoko, aturan yang ada saat ini tidak bisa ada kepastian mengenai penujukkan langsung. Aturan yang dimaksuda adalah Peraturan Presiden Nomor 4 tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan.

Pasal 4 ayat 1 aturan tersebut hanya menyebutkan pelaksanaan infrastruktur ketenagalistrikan oleh PLN dilakukan melalui swakelola dan kerja sama penyediaan tenaga listrik. Sedangkan, ayat kedua berbunyi kerjasama penyediaan tenaga listrik dilakukan dengan badan usaha penyedia tenaga listrik, yaitu melalui anak perusahaan PLN, atau Pengembang Pembangkit Listrik (PPL). 

Jadi di aturan itu tak ada detail mengenai penunjukan langsung. Untuk itu harus ada perlu aturan baru yang bisa memuat skema penunjukan langsung. "Dalam pasal 4 itu belum dijelaskan secara ditail mengenai penunjukan langsung. Kami tidak mau nanti jadi masalah," kata Djoko. 

PLN sudah melakukan opini hukum dan berkoordinasi dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM); dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tak hanya itu, Djoko mengatakan PLN sedang membuat Standar Operasional Prosedur (SOP) mengenai hal ini.

SOP ini untuk menindaklanjuti Peraturan Presiden Nomor 4 tahun 2016. “Penyusunan butuh waktu 2,5 bulan selesai sampai tanda tangan kontrak,” ujar dia.

PLTS Cirata merupakan PLTS terapung pertama di Indonesia. Proyek ini digarap anak usaha PLN, yakni PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB) dan Masdar yang merupakan perusahaan Uni Emirat Arab (UEA).

PLTS ini dibangun dalam dua tahap. Tahap pertama akan dibangun 50 MW, rencananya pembangkit tahap pertama akan selesai dan beroperasi pada kuartal II 2019. Lalu, tahap kedua hingga tahap ke empat akan dibangun dengan total 150 MW dan rencananya akan beroperasi pada 2020.

(Baca: Penandatanganan Jual Beli Listrik PLTS Cirata Mundur Lagi)

Proyek tersebut ini ditaksir membutuhkan dana US$ 300 juta atau sekitar Rp 4,05 triliun. Proyek yang dikembangkan adalah Floating Photovoltaic Solar Power Plant dengan kapasitas 200 MW di waduk Cirata milik PT PJB.