Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akhirnya merilis buku Neraca Gas Bumi Nasional periode 2018 hingga 2027. Dalam buku tersebut, Indonesia akan mengalami defisit gas tahun 2025.
Perhitungan defisit itu melalui tiga perhitungan. Perhitungan ini berbeda dari sebelumnya yang memproyeksikan kebutuhan gas nasional digabung antara kebutuhan gas yang sudah berkontrak dengan yang masih potensial.
Skenario pertama, kebutuhan gas dihitung berdasarkan pemanfaatan gas bumi dan tidak diperpanjangnya kontrak ekspor jangka panjang baik melalui pipa atau berupa gas alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG). Beberapa komitmen ekspor yang akan berakhir dan tidak diperpanjang seperti LNG Tangguh yang berakhir tahun 2020 dan 2022. Ada juga gas dari Blok Corridor yang kontraknya berakhir 2023. Lalu komitmen LNG 1973 dan 1981 (Western Buyers Extention) yang berakhir 2020.
Dengan metode itu, Indonesia tidak akan mengalami defisit hingga 2027, justru surplus. Misalnya, pada 2025, surplus gas mencapai 1.488 mmscfd, lalu pada 2026 surplus gas turun menjadi 1.050 mmscfd, dan meningkat lagi pada 2027 menjadi 2.103 mmscfd. Ini karena beroperasinya sejumlah proyek migas.
Adapun, pada skenario kedua, Indonesia sebenarnya mengalami surplus gas tahun 2018 hingga 2024. Namun, defisit terjadi sejak 2025 hingga 2027. Ini menggunakan asumsi kebutuhan gas sektor listrik Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2018-2027.
Penyebab lainnya penambahan industri retail sebesar 5,5%. Lalu, pelaksanaan proyek kilang sesuai jadwal. Pembangunan pabrik-pabrik baru petrokimia dan pupuk juga sesuai jadwal.
Defisit gas tahun 2025 mencapai 206 mmscfd. Asumsi kebutuhan pada saat itu diproyeksikan sebesar 7.594 mmscfd. Namun kebutuhan gas ini turun menjadi 7.520 mmscfd pada 2026, dan naik lagi menjadi 8.234 mmscfd pada 2027.
Skenario ketiga, Indonesia juga mengalami defisit tahun 2025. Faktornya hampir sama dengan skenario kedua. Namun, yang membedakan, ada potensi penambahan permintaan dari sektor nonretail.
Pada skenario ketiga ini, terjadi defisit gas sebesar 1.072 mmscfd pada 2025. Sementara kebutuhan gas saat itu diperkirakan 8.803 mmcfd. Lalu pada 2026 kebutuhan gas pada skenario ketiga turun menjadi 8.759 mmscfd, lalu naik menjadi 9.504 pada 2027.
Skenario kedua dan ketiga belum memperhitungkan produksi Blok Masela dan East Natuna. Ini karena kedua blok tersebut berproduksi tahun 2027. Adapun, kondisi pasokan gas bumi pada 2018-2027 rata-rata mencapai kurang lebih 8.000 mmscfd yang ditopang proyek yang akan berjalan ke depan diantaranya proyek Blok A di Aceh, Jambaran Tiung Biru, Merakes, Tangguh Train 3, dan Blok Kasuri.
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan meskipun terjadi defisit neraca gas pada skenario dua dan tiga, namun hal tersebut belum tentu impor. Ini karena tidak semua daerah mengalami defisit.
Kementerian ESDM membagi enam regional yang membutuhkan gas. Enam wilayah ini dibagi berdasarkan konektivitas infrastruktur gas antara satu wilayah dengan wilayah yang lain.
Regional I meliputi wilayah Aceh dan Sumatera Bagian Utara. Regional II yang terdiri dari Sumatera Bagian Tengah, Sumatera Bagian Selatan, Kepulauan Riau, Natuna dan Jawa Bagian Barat. Regional III meliputi wilayah jawa Bagian Tengah. Regional IV meliputi jawa bagian Timur. Regional V meliputi Kalimantan dan Bali, dan regional VI meliputi Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua.
Dengan skema itu, maka jika tahun 2025 regional III mengalami defisit, gas bisa dipasok dari wilayah Surabaya, yakni di regional IV melalui pipa Gresik-Semarang. Dengan begitu tidak perlu sampai membuka keran impor. “Tergantung regional,” kata Arcandra, di Jakarta, Senin (1/10).
Namun apabila seluruh regional mengalami defisit, mau tak mau pemerintah akan membuka keran impor. "Kalau itu tidak cukup juga dan sudah habis di mana-mana ya impor, tapi kan itu tak tahu kapan, kan IDD dan Masela bisa berkembang," kata Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM, Djoko Siswanto.
Adapun untuk memenuhi pasokan dalam negeri yang berkurang, Djoko mengaku pihaknya akan berupaya untuk menemukan cadangan migas baru. "Kalau ke depan masih ada defisit, pasokan dari proyek potensial ditemukan lagi, kita lagi eksplorasi," kata dia.
(Baca: Pemerintah Cermati Penyebab Defisit Neraca Migas)
Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association (IPA) Marjolijn Wajong menyambut baik neraca gas bumi tersebut. Ini karena pemerintah memberi ruang untuk menerapkan tiga skenario terhadap kebutuhan gas di masa depan. "Saya melihat ini positif membuka banyak ruang diskusi," ujar dia.