Perundingan kerja sama ekonomi komprehensif atau Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) antara Indonesia dan Uni Eropa tidak hanya bertujuan membuka perdagangan yang lebih luas. Lewat kerja sama tersebut, terbuka juga peluang investasi, khususnya di sektor energi dan pertambangan.
Dalam perundingan ke-5 CEPA Indonesia dan Uni Eropa di Brussels, Belgia, 9-13 Juli lalu, bukan hanya mencakup perdagangan barang, namun juga jasa, serta investasi dan kerjasama lainnya. “Perundingan kita dengan Uni Eropa ini akan melahirkan perjanjian perdagangan paling modern yang pernah kita lakukan, karena juga mencakup beberapa isu yang selama ini belum pernah kita negosiasikan (secara khusus),” kata Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo kepada Katadata.co.id di Brussels, Jumat (13/7).
Salah satu isu khusus tersebut adalah Energy and Raw Material (ERM). Dalam dua hari sesi pembahasan mengenai ERM setidaknya menyangkut tiga isu besar. Pertama, bea keluar ekspor mineral mentah dari Indonesia.
Kedua, ketenagalistrikan terkait keinginan Uni Eropa mengelola listrik di Indonesia. Namun, hal ini tidak dapat dilakukan karena operator listrik berada di tangan PT PLN. Ketiga, minyak dan gas bumi (migas) terkait usulan Uni Eropa agar lelang wilayah kerja migas tidak perlu lagi dilakukan atau diulang jika pada lelang pertama tidak ada pemenangnya. Tapi, usulan itu juga tidak dapat dipenuhi.
(Baca juga: Bertemu PM Denmark, Jokowi Bahas Pembangkit Angin Hingga Sawit)
“Silakan ikut lelang, jika kompetitif dan mengajukan proposal yang paling bagus, tentu dapat diberikan (hak pengelolaannya),” kata Staf Ahli Menteri ESDM Bidang Investasi dan Pengembangan Infrastruktur Prahoro Nurtjahyo, yang turut dalam tim delegasi perundingan CEPA Indonesia – Uni Eropa. Ia pun menjanjikan, pemerintah terus meningkatkan kemudahan untuk kegiatan usaha di dalam negeri.
Lebih jauh dari sekadar kerja sama dagang, Prahoro melihat kerja sama CEPA ini membuka peluang investasi di sektor energi Indonesia oleh negara-negara Uni Eropa. Hal itu setidaknya tercermin dari sejumlah pertanyaan yang diajukan tim delegasi Uni Eropa mengenai bidang kelistrikan dan sektor hulu migas di tanah air.
Untuk menyambut peluang tersebut, ada dua keunggulan dalam berinvestasi di Indonesia, yaitu sumber daya alam dan pasar yang besar. Ini ditambah lagi dengan berbagai kebijakan yang dilandasi oleh hukum yang berlaku. “Apa yang kita lakukan selama ini under law, bukan kebijakan yang tidak ada dasarnya. Jadi ada undang-undang atau peraturan Menteri,” kata Prahoro.
Pemerintah mengklaim iklim investasi di dalam negeri sudah lebih kompetitif dibandingkan negara-negara lain. Proses bisnis diperpendek, dimana ada 186 perizinan yang dipangkas dalam kurun dua tahun terakhir. Ia mencontohkan, proses perizinan usaha hulu migas yang selama ini memakan waktu bertahun-tahun, kini dapat diselesaikan dalam hitungan bulan.
Jadi, meski perjanjian kerja sama ekonomi ini dilatari oleh usaha perdagangan, Pemerintah Indonesia membidik peluang investasi dari Uni Eropa. Selain di sektor energi, menurut Prahoro, misalnya banyak potensi investasi untuk pembangunan pabrik pengolahan (smelter) mineral mentah.
Berdasarkan catatan Katadata.co,id, pemerintah dan investor asal Eropa memang telah menjajaki peluang investasi di sector energi, khususnya pembangkit listrik di Indonesia. Pada Februari tahun lalu, Pemerintah Swedia menandatangani nota kesepahaman pengembangan energi baru terbarukan (EBT). Bentuknya adalah pembangunan pembangkit listrik tenaga air (hidro) dan angin di kawasan timur Indonesia.
Perusahaan energi asal Perancis juga menyatakan minatnya membangun pembangkit listrik tenaga surya di Jawa Barat. Ada pula, Pemerintah Denmark yang menjajaki peluang investasi pembangunan pembangkit listrik tenaga angina pada November 2017.