ExxonMobil Indonesia segera menindaklanjuti temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai pembebanan biaya-biaya yang tidak semestinya diperhitungkan dalam cost recovery. Masalah cost recovery ini terjadi untuk proyek fasilitas produksi di Lapangan Banyu Urip.

Vice President Public and Government Affairs ExxonMobil Indonesia Erwin Maryoto mengatakan sudah mengetahui hasil pemeriksaan tersebut. Namun, ia belum mau menyebutkan secara detail tindak lanjut tersebut.

Yang jelas, saat ini pihaknya tengah berkoordinasi dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu MIgas (SKK Migas). “Kami mengetahui temuan oleh BPK tersebut dan bersama SKK Migas sedang menindak lanjutinya,” kata dia kepada Katadata, Rabu (4/10).

Berdasarkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan (IHPS) Semester  I Tahun 2017,  BPK menemukan adanya cost recovery (biaya pemulihan) yang membengkak dari  proyek fasiltias Banyu Urip. Totalnya sebesar US$ 542,36 juta atau sekitar Rp 7,3 triliun. 

Jika dirinci jumlah tersebut terbagi menjadi dua. Pertama, adanya penerbitan change order (perubahan pesanan) atas kontrak proyek Banyu Urip EPC 1 fasilitas produksi yang belum mendapat persetujuan SKK Migas. Penerbitan change order itu melebihi batas maksimal dan tidak mempertimbangkan aspek kontraktual dan komersial senilai US$ 484,11 juta.

Halaman: