PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) akan menandatangani perjanjian jual-beli listrik atau power purchase agreement (PPA) untuk pembangkit energi baru terbarukan (EBT) dengan para pengembang swasta (independent power producer/IPP), Rabu besok (2/8). Meski begitu, para investor swasta tersebut sebenarnya masih keberatan dengan persyaratan dan harga jual listrik yang ditetapkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan.
Menurut Jonan, ada 64 perusahaan yang akan meneken PPA dengan PLN untuk membangun pembangkit EBT berkapasitas total 400 Megawatt (MW). Pembangkit listrik itu antara lain enam pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), pembangkit mikrohidro dan Pembangkit Listrik Tenaga Biomass (PLTBm), namun tidak termasuk pembangkit panas bumi.
“Ini oke loh. 64 perusahaan rame-rame (teken PPA dengan PLN),” kata Jonan di Jakarta, Selasa (1/8).
Namun, rencana penandatanganan perjanjian tersebut sebenarnya masih menyisakan ganjalan di hati pengembang listrik swasta. Sebab, mereka merasa dipaksa meneken perjanjian tersebut di tengah proses negosiasi harga, syarat, dan ketentuan jual-beli listrik yang belum rampung.
Katadata memperoleh salinan pesan aplikasi Whatsapp di salah satu grup percakapan pengembang listrik swasta. Pesan dari manajemen PLN itu meminta para pengembang segera menandatangani PPA listrik, Rabu besok. Apabila IPP tidak menandatangani PPA tersebut maka para pengembang dianggap mundur dari rencana penjualan listrik.
Kepada Rekan-rekan pengembang.
Menyampaikan pesan dari Bu Nicke (Direktur PLN), bahwa acara penandatanganan PPA pada hari Rabu nanti hanya ada 1 tahap. Tidak ada tahap 2. Kalau tidak bersedia tandatangan PPA berarti mundur, dan akan dicoret.
Terima kasih.
Ketua Asosiasi Pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Air (APPLTA) Riza Husni membenarkan isi pesan tersebut. Menurut dia, IPP dipaksa menandatangani PPA saat sedang menegosiasikan harga dan aturan jual-beli listrik.
Pengembang swasta juga masih menunggu itikad baik pemerintah untuk merevisi Peraturan Menteri ESDM yang dianggap menyulitkan. "Bagaimana mungkin kita dianggap mundur karena belum ada kesepakatan," katanya.
Peraturan yang dipersoalkan itu adalah Peraturan menteri ESDM Nomor 10/2017 Tentang Pokok-Pokok Jual Beli Listrik. Peraturan ini mengatur PPA antara pembeli (PLN) dengan penjual (IPP) terkait aspek komersial untuk seluruh jenis pembangkit EBT. IPP keberatan dengan klausul “government force majeure” dalam aturan itu karena berpotensi terkena denda yang besar secara sepihak.
Ada juga Peraturan Menteri ESDM Nomor 12/2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Pengembang keberatan dengan ketentuan batas atas harga jual listrik EBT dari pengembang kepada PLN.
Salinan surat rekomendasi APPLTA yang diperoleh Katadata mengungkapkan, IPP sebenarnya sudah bertemu dengan Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar pada 27 Juli lalu. Mereka menyampaikan keluhan dan masukan terkait beberapa peraturan yang menyulitkan, antara lain Permen Nomor 10/2017, 12/2017, dan 42/2017.
Dalam forum tersebut, Arcandra berjanji akan mengevaluasi seluruh Permen terkait dalam waktu dekat. Namun, hasil evaluasi belum keluar, pengembang saat ini diminta segera menandatangani PPA. "Sekarang investor yang lagi negosiasi dipaksa menandatangani PPA dan yang tidak mau dianggap mundur," kata Riza.
Ia menilai, kondisi ini menyulitkan karena banyak pengembang yang sudah membeli tanah di lokasi pembangkit dan melakukan studi kelayakan. Alhasil, meski terpaksa, mereka kemungkinan akan tetap meneken PPA.
Menurut Jonan, penentuan tarif listrik disesuaikan dengan teknologi dan pengembangan tarif internasional. “Tidak terlalu murah dan tidak terlalu tinggi.” Adapun, terkait keberatan klausul government force majeure, dia berjanji akan menyesuaikan aturan tersebut.
Namun, Jonan membantah para pengembang swasta masih belum sepakat dengan harga jual-beli listrik dengan PLN. “Ngapain PPA kalau belum sepakat.”
Sementara itu, Kepala Satuan Komunikasi Korporat PLN I Made Suprateka menyatakan, PPA berdasarkan pada komitmen dari IPP sebelum munculnya Peraturan Menteri ESDM yang dipersoalkan tersebut. Jadi, IPP tidak seharusnya mundur dari komitmen pembelian listrik yang sudah disepakati bersama sebelumnya.
"Permen itu kan keluar belakangan. Kalau yang keluar belakangan dicampuradukkan dengan komitmen yang sudah duluan, kan berabe," katanya. "Kalau nanti tahun depan keluar Permen yang ketentuannya lebih menguntungkan, nanti yang sekarang (sudah berkomitmen) tidak mau lagi.”
Terkait ketentuan batas atas harga listrik, Made meminta semua IPP memaklumi kondisi PLN yang harus menjual listrik dengan harga yang terjangkau kepada masyarakat. Penetapan harga itu juga didasarkan pada harga kewajaran dari kalkulasi harga pokok dan biaya lainnya.
Yang pasti, PLN tidak khawatir jika ada pengembang listrik swasta mundur dan tidak menandatangani perjanjian PPA. "(Swasta) yang mau itu banyak. Sampai ngantre. Animo investor listrik itu besar," kata Made.