Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencatat realisasi penggantian biaya operasi industri migas (cost recovery) hingga 29 Maret lalu sebesar US$ 2,38 juta atau setara Rp 31,70 miliar. Jumlah ini menurun 13 persen dibandingkan realisasi kuartal pertama tahun lalu yang mencapai US$ 2,74 juta atau setara Rp 36 miliar.

Deputi Keuangan dan Monetisasi SKK Migas Parulian Sihotang mengatakan, salah satu penyebab penurunan cost recovery itu adalah aktivitas pengeboran belum berlangsung masif pada tiga bulan pertama tahun ini. "Beberapa kegiatan pengeboran baru dilakukan di kuartal kedua," kata dia kepada Katadata beberapa waktu lalu.

(Baca: BPK Temukan Penyimpangan Cost Recovery ConocoPhillips dan Total)

Penyebab lainnya adalah efisiensi para pelaku industri migas. Turunnya harga minyak dunia juga membuat SKK Migas menegosiasikan ulang harga pengadaan barang dan jasa yang diajukan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).

Efisiensi ini penting agar cost recovery tidak membengkak seperti tahun lalu menjadi US$ 13,1 miliar. ''Sesuai arahan Menteri ESDM harus bisa lebih efisien, bahkan lebih rendah dari target APBN," kata dia. 

Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017, dana cost recovery yang dialokasikan sebesar US$ 10,4 triliun, Nilainya lebih tinggi 24 persen dibandingkan alokasi dalam APBN-Perubahan 2016 yang sebesar US$ 8,4 miliar. (Baca: Anggaran Cost Recovery Migas Tahun Depan Melonjak 24 Persen)

Dengan cost recovery sebesar itu, pemerintah ingin target produksi siap jual migas (lifting) tahun ini tidak meleset. Adapun target lifting minyak tahun ini sebesar 815 ribu barel per hari (bph), sementara lifting gas 1,150 mboepd. Namun, Menteri ESDM Ignasius Jonan juga membuat kesepakatan dengan SKK Migas agar lifting 2017 bisa mencapai 825 ribu bph.

Sebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazar menginginkan SKK Migas lebih efektif dalam mengawasi cost recovery. Alasannya, dana tersebut bisa mempengaruhi penerimaan negara.

Pada 2014, penerimaan negara dari migas sebesar Rp 320 triliun. Lalu turun menjadi Rp 136 triliun di 2015 dan tahun lalu tinggal Rp 80 triliun. Pemicunya adalah meningkatnya realisasi cost recovery yang membengkak dari target yang dicantumkan dalam APBN. 

(Baca: Penerimaan Migas Turun, Kemenkeu Minta Tekan Cost Recovery)

Untuk menekan cost recovery, Jonan juga sudah membuat skema kerja sama gross split. Skema baru itu berlaku bagi kontrak baru migas dan sebagai opsi pilihan kontrak bagi kontraktor yang melakukan perpanjangan kontrak.