Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) blok migas nonkonvensional menyatakan sudah memiliki terobosan teknologi yang bisa menekan biaya pengeboran sumur gas metana batu bara (coal bed methane/CBM) hingga 90 persen. Teknologi ini bisa dilakukan karena sudah ada persetujuan dari pemerintah.

Join Venture and PGPA Manager Ephindo Energy Private Ltd Moshe Rizal Husin menjelaskan dengan teknologi yang baru ini, pengeboran sumur CBM bisa menggunakan rig tambang yang sudah ada di Indonesia. Dengan memanfaatkan rig tersebut, ongkos pengeboran sumur eksplorasi bisa ditekan dari US$ 2 juta per sumur menjadi hanya US$ 200 ribu per sumur.

Menurut Moshe, saat ini para KKKS migas nonkonvensional sudah mulai menggunakan rig tambang dalam pengeboran sumur. Sejak November 2016, Direktorat Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memutuskan untuk membolehkan KKKS mengebor seefisien mungkin. KKKS tidak perlu harus menggunakan teknologi pengeboran yang mahal.

"Dengan terobosan teknologi ini dapat menekan biaya pengeboran sampai lebih dari 80-90 persen," kata dia kepada Katadata, Senin (6/2). (Baca: Pemerintah Harap Skema Gross Split Memacu Migas Nonkonvensional)

Sebelumnya pemain migas nonkonvensional masih mengacu kepada teknik pengeboran konvensional migas. Seiring berjalannya waktu, para pelaku usaha melakukan kajian terhadap keekonomian blok nonkonvensional.

Hasil kajian tersebut menyimpulkan bahwa teknologi pengeboran migas nonkonvesional di Indonesia tidak memungkinkan untuk disamakan dengan teknologi pengeboran konvensional. Kajian ini pun merekomendasikan teknologi lain untuk diterapkan dalam pengeboran sumur migas nonkonvensional.

Dengan teknologi ini, biaya pengeboran sumur CBM di Indonesia bisa bersaing dengan pengeboran sumur migas nonkonvensional di negara lain. Sebagai perbandingan ongkos pengeboran di Amerika Serikat dan Cina sekitar US$ 200 ribu – 300 ribu per sumur.

Moshe mengaku perusahaannya sudah mulai menggunakan teknologi ini sejak Desember 2016, untuk pengeboran empat sumur dalam waktu satu minggu. Sebelumnya Ephindo mengeluarkan dana US$ 1-5 juta untuk mengebor satu sumur CBM. Dengan teknologi ini ongkosnya turun menjadi US$ 200 ribu per sumur.

"Makanya kami melirik industri tambang lainya yang sudah beroperasi di Indonesia, sebagai contoh bagaimana biaya dan teknologi pengeboran mereka," kata Moshe. 

Meski pemanfaatan teknologi pengeboran dilakukan secara efisien, Moshe menyebutkan pihaknya tetap mengedepankan standar Kesehatan, Keamanan dan Lingkungan (HSE). Hal ini sesuai dengan pengembangan migas dari CBM.

Di sisi lain, dia juga berharap pemerintah dapat menaruh perhatian lebih terhadap pengembangan migas di wilayah kerja nonkonvensional. Sebab, potensi gas nonkonvensional di Indonesia masih sangat besar. (Baca: Minim Eksplorasi, Indonesia Terancam Kekurangan Migas)

Berdasarkan informasi yang diperoleh Katadata, kandungan gas batubara di Indonesia masih lumayan besar sekitar 90 -110 triliun kaki kubik (TCF).  Jumlah tersebut bahkan diklaim lima kali kandungan gas di Tangguh, Papua Barat atau empat kali kandungan gas di Blok Masela.

Moshe juga berharap dengan adanya upaya monetisasi temuan gas batu bara tersebut, maka dapat membantu memenuhi kekurangan gas di dalam negeri. "Bisa membantu untuk penuhi gap pasokan untuk program listrik 35.000 MW Pak Jokowi," kata Moshe.