Dua perusahaan raksasa energi, Royal Dutch Shell dan Total, berancana membangun terminal serta pembangkit di negara-negara berkembang. Langkah bisnis ini untuk menyerap pasokan gas yang sangat melimpah.
“Kami siap memasuki industri hilir untuk membuka jalan terhadap permintaan gas,” kata Presiden Divisi Gas Total, Laurent Vivier, seperti dilansir Reuters, Minggu, 12 Juni 2016. Ia yakin kehadiran perusahaan tersebut dalam industri hilir bisa mendatangkan permintaan baru dan mengurai bottleneck pada rantai pasokan, termasuk regasifikasi, pipa gas serta pembangkit listrik.
Keduanya sudah mengucurkan investasi miliaran dolar untuk membangun pembangkit yang mendukung produksi gas alam caiar atau liquefied natural gas (LNG) di Australia dan Amerika Serikat. (Baca: Shell Hengkang dari 10 Negara untuk Tekan Pengeluaran)
Namun, seiring pertumbuhan permintaan dan turunnya harga, LNG yang dihasilkan oleh mereka akan berlebih. Bahkan, pasokan yang ada sudah melebihi jumlah yang bisa diserap oleh pembeli-pembeli besar seperti Cina dan Jepang.
Oleh karena itu, perusahaan kini melirik peluang industri hilir serta berminat menciptakan pasar baru, mulai dari Pantai Gading hingga ke wilayah terpencil di Indonesia. Caranya adalah dengan membangun pembangkis listrik tenaga gas (PLTG), pipa gas, serta regasifikasi dan terminal penyimpanan.
Total ingin meningkatkan pasar pembangkit listrik dan gasnya hingga tiga kali lipat. Selain itu, perusahaan juga membidik produksi LNG hingga 20 juta ton per tahun dan mendistribusikan 15 juta ton pada tahun 2020. Perusahaan asal Prancis ini juga mengikuti tender infrastruktur LNG, termasuk untuk sejumlah PLTG di beberapa negara, seperti Indonesia, Cina, Pantai Gading, Ghana dan Maroko.
Sementara itu, Shell juga optimistis pasar akan menyerap LNG hingga dua kali lipat. “Kami memprediksi sekitar 50 pasar berbeda di tahun 2030,” kata Chief Financial Officer Shell, Simon Henry. (Baca: Shell PHK Lagi 2.200 Pegawai).
Shell menyatakan sedang mencari beberapa pasar di dunia yang berpotensi untuk regasifikasi. “Biasanya adalah fasilitas regasifikasi apung, karena sifatnya yang cepat dan bisa mengembangkan pasar dalam beberapa fase,” kata Chief Financial Officer Shell Simon Henry.
Shell, yang menjadi perusahaan LNG terbesar dunia setelah mengakuisisi BG Group, diprediksi menjual satu per enam LNG dunia tahun ini. Produksi global diperkirakan naik hingga separuh jumlah yang ada saat ini pada 2020, dengan tambahan 150 juta ton LNG di pasar.
Teknologi-teknologi baru akan membantu perusahaan dalam mempercepat pengembangan. Salah satu contohnya adalah terminal apung, yang lebih hemat dibanding fasilitas onshore dengan biaya lebih dari US$ 1 miliar. (Baca: Total Waspadai Penurunan Produksi Blok Mahakam).
Sejumlah perusahaan seperti Shell, Total, ExxonMobil, dan Chevron telah menggunakan model bisnis tersebut selama berpuluh tahun di sektor minyak. Yang menjadi pertimbangan adalah lini usaha mereka yang telah ada mulai dari sumur minyak, kilang, hingga kantor pelayanan.
Namun sejumlah analis mempertanyakan potensi keberhasilan model bisnis tersebut. “Ini merupakan ujian berat bagi perusahaan-perusahaan itu, yang memang tidak berpengalaman dalam memenuhi permintaan kecil pasar di sektor hilir,” ujar analis gas senior dari Bank Prancis Societe Generale, Thierry Bros.
Meski demikian, pertumbuhan permintaan gas dunia diprediksi turun dari 2,5 persen saat ini menjadi 1,5 persen pada 2021. Hal ini disampaikan Badan Energi Internasional (International Energy Agency).
Seperti halnya minyak dan gas bumi, harga LNG juga melemah dalam dua tahun terakhir. Kondisi ini memaksa para pedagang menggunakan lebih banyak kargo tunggal untuk melakukan pengiriman segera ke pasar spot. Langkah ini memudahkan pembeli berskala kecil untuk mendapatkan pasokan.